My World

My World

Selasa, 10 Mei 2011

Peran Guru dalam Pengelolaan Kelas

BAB I
PENDAHULUAN

Guru adalah satu komponen manusiawi dalam proses belajar-mengajar, yang ikut berperan dalam usaha membentuk sumber daya manusia yang potensial dibidang pembangunan. Oleh karena itu, guru yang merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga professional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang makin berkembang. Dalam arti khusus dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu.
Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai “pengajar” tetapi juga sebagai “pendidik” dan sekaligus sebagai “pembimbing”. Berkaitan dengan ini, sebenarnya guru memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks di dalam proses belajar-mengajar, dalam usahanya mengantarkan siswa/anak didik ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu, setiap rencana kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran Guru dalam Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar. Dengan kata lain kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar-mengajar.
Suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Juga hubungan interpersonal yang baik antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, itu merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif.
• Prinsip Penggunaan
1. Kehangatan dan keantusiasan
2. Tantangan
3. Bervariasi
4. Keluwesan
5. Penekanan pada hal-hal yang positif
6. Penanaman disiplin diri.
Dalam perannya sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi, lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. Pengawasan terhadap belajar lingkungan itu turut menentukan sejauh mana lingkungan tersebut menjadi lingkungan belajar yang baik. Lingkungan yang baik adalah yang bersifat menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai tujuan.
Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik.
Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Peran guru pada pada kegiatan belajar siswa sangat menentukan prestasi siswa, pada pembahasan pengelolaan kelas yang lalu menekankan sangat pentingnya pengelolaan kelas khususnya dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menarik. Itu karena secara prinsip, guru memegang dua tugas sekaligus masalah pokok, yakni pengajaran dan pengelolaan kelas. Tugas sekaligus masalah pertama, yakni pengajaran, dimaksudkan segala usaha membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sebaliknya, masalah pengelolaan berkaitan dengan usaha untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Kegagalan seorang guru mencapai tujuan pembelajaran berbanding lurus dengan ketidakmampuan guru mengelola kelas. Indikator dari kegagalan itu seperti prestasi belajar murid rendah, tidak sesuai dengan standar atau batas ukuran yang ditentukan.
Karena itu, pengelolaan kelas merupakan kompetensi guru yang sangat penting dikuasai dalam rangka proses pembelajaran. Karena itu setiap guru dituntut memiliki kemampuan dalam mengelola kelas.
Proses belajar mengajar di dalam kelas hakikatnya akan melibatkan semua unsur yang ada di dalam sekolah yang bersangkutan akan tetapi secara langsung akan terlibat hal-hal sebagai berikut :
a. Guru sebagai pendidik
b. Murid sebagai yang dididik
c. Alat-alat yang dipakai
d. Situasi dalam dan lingkungan kelas
e. Kelas itu sendiri
f. Dan lain-lain yang sewaktu-waktu terjadi.
Dalam pengelolaan kelas selanjutnya, maka guru melalui pimpinan sekolah harus mengadakan kegiatan-kegiatan antara lain :
1. Menyusun kelasnya dengan baik
2. Menyusun jadwal pelajaran
3. Merencanakan aktifitas kelas bagi murid dengan bimbingan guru
4. Guru dalam melaksanakan tugas harus terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan bahan-bahan pelajaran sebelum berdiri di depan kelasnya
5. Guru menciptakan situasi kelas yang baik.

B. Hakikat Guru Sebagai Pembina
Seseorang dikatakan sebagai guru tidak cukup “tahu” sesuatu materi yang akan diajarkan, tetapi pertama kali ia harus merupakan seseorang yang memang memiliki “Kepribadian guru”, dengan segala ciri tingkat kedewasaannya. Dengan kata lain untuk menjadi pendidik atau guru, seseorang harus memiliki kepribadian. Guru adalah sebagai seorang yang memiliki kiat. Dalam hubungannya dengan fungsinya sebagai pendidik, maka menjadi guru berarti menjadi pribadi yang terintegrasi.
Selanjutnya sebagai kelanjutan atau penyempurnaan fungsi guru sebagai pendidik, maka harus berfungsi pula sebagai pembimbing atau Pembina. Pengertian pendidik dalam hal ini lebih luas dari fungsi “membimbing/membina”. Bimbingan adalah termasuk sarana dan serangkaian usaha pendidikan.
Seorang guru menjadi pendidik berarti sekaligus menjadi Pembina/pembimbing. Sebagai contoh guru yang berfungsi sebagai “pendidik” dan “pengajar” seringkali akan melakukan pekerjaan bimbingan (bimbingan belajar, bimbingan tentang keterampilan dan sebagainya. Jadi dalam proses pendidikan kegiatan “mendidik”, “mengajar” dan “membina/ membimbing” sebagai yang tidak dapat dipisahkan.
Membina dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan menuntun anak didik dalam perkembangannya dengan jalan memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sebagai pendidik, guru harus berlaku membina, dalam arti menuntun sesuai dengan kaidah yang baik dan mengarahkan perkembangan anak didik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, termasuk dalam hal ini, yang penting ikut memecahkan persoalan-persoalan atau kesulitan yang dihadapi anak didik.
Pendidikan adalah usaha pendidik memimpin anak didik secara umum untuk mencapai perkembangannya menuju kedewasaan jasmani dan rohani dan pembinaan adalah usaha pendidik memimpin anak didik dalam arti khusus misalnya memberikan dorongan atau motivasi dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak didik/ siswa.
Adapun perana guru sebagai Pembina, tercermin dalam sikap dan perilaku terhadap siswa sebagai berikut ;
1. Perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri.
2. Sikap yang positif dan wajar terhadap siswa
3. Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati dan menyenangkan.
4. Pemahaman siswa secara empatik.
5. Penghargaan terhadap martabat siswa sebagai individu.
6. Penampilan secara ikhlas (genuine) di depan siswa.
7. Kekongkritan dalam menyatakan diri.
8. Penerimaan siswa secara apa adanya
9. Perlakuan terhadap siswa secara terbuka.
10. Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan oleh siswa dan membantunya untuk menyadari perasaannya itu.
11. Kesadaran bahwa tujuan mengajar bukan terbatas pada penguasaan siswa terhadap bahan pengajaran saja, melainkan menyangkut pengembangan siswa menjadi individu yang lebih dewasa.
12. Penyesuaian diri terhadap keadaan yang khusus.

Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar merupakan suatu perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik, tetapi sederhana.
Dikatakan unik karena hal itu berkenaan dengan manusia yang belajar, yakni siswa, dan yang mengajar , yakni guru, dan berkaitan erat dengan manusia di dalam masyarakat yang semuanya menunjukkan keunikan. Dikatakan sederhana karena mengajar dilaksanakan dalam keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati oleh siapa saja.
Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar.
Abu Ahmadi (1977) mengemukakan peran guru sebagai pembimbing atau pembina dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, sebagai berikut :
a. Menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap siswa merasa aman dan berkeyakinan bahwa kecakapan dan prestasi yang dicapainya mendapat penghargaan dan perhatian.
b. Mengusahakan agar siswa-siswa dapat memahami dirinya, kecakapan-kecakapan, sikap, minat dan pembawaannya.
c. Mengembangkan sikap-sikap dasar bagi tingkah laku social yang baik.
d. Menyediakan kondisi dan kesempatan bagi setiap siswa untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
e. Membantu memilih jabatan yang cocok, sesuai dengan bakat, kemampuan dan minatnya.
Peranan guru sebagai pembimbing/pembina harus lebih dipentingkan, karena kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing anak didik menjadi manusia dewasa susila yang cakap. Tanpa bimbingan dan binaan anak didik akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya.

C. Fungsi Dan Kedudukan Guru Sebagai Pembina
Guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan Pembina, minimal ada 2 fungsi :
• Fungsi moral
• Fungsi kedinasan.
Tinjauan secara umum, guru dengan segala peranannya akan kelihatan lebih menonjol fungsi moralnya, sebab walaupun dalam situasi kedinasan pun guru tidak dapat melepaskan fungsi moralnya. Oleh karna itu, guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan Pembina juga diwarnai oleh fungsi moral itu, yakni dengan wujud bekerja secara sukarela, tanpa pamrih dan semata-mata demi panggilan hati nurani.
Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa jiga di masjid, di musholla, di rumah dan sebagainya. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.
Tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga diluar sekolah. Pembinaan yang harus diberikan pun tidak hanya kelompok (klasikal), tetapi juga secara individual. Dengan kata lain guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah.
Guru mempunyai peranan dan kedudukan kunci di dalam keseluruhan proses pendidikan terutama dalam pendidikan di sekolah. Peranan yang sedemikian itu akan makin tampak, kalau dikaitkan dengan kebijaksanaan program pembangunan dalam bidang pendidikan dewasa ini, yaitu yang berkenaan dengan peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Dalam rangka memfasilitasi terwujudnya kebijakan ini, guru dituntut menampilkan peranan, baik sebagai pengajar maupun pembimbing/ pembina secara terpadu dalam proses belajar mengajar yang sesuai dengan kompetensi yang dituntutnya.
Peran guru tersebut seyogyanya terefleksikan dalam kinerja (perilaku yang ditampilkannya) dari mulai perencanaa (perumusan pengajaran), pelaksanaan, sampai evaluasi dan follow up (tindak lanjut).
Erick Hoyle (Rochman Natawidjaja, 1988: 32-33) mengemukakan seperangkat peranan guru yang sekaligus ditampilkannya di dalam kelas. Peranan-peranan itu sebagai berikut :
1. Wakil masyarakat.
2. Hakim (memberi nilai).
3. Sumber (proses, pengetahuan dan keterampilan).
4. Penolong (memberi bimbingan bagi kesulitan siswa).
5. Detektif (menemukan pelanggar aturan).
6. Pelerai (menyelesaikan perselisihan diantara siswa).
7. Obyek identifikasi bagi siswa.
8. Penawar kecemasan (membantu siswa mengendalikan nafsu).
9. Penunjang kekuatan ego (membantu siswa untuk memiliki kepercayaan pada diri sendiri).
10. Pemimpin kelompok (membentuk iklim kelompok).
11. Pengganti orang tua (bertindak sebagai tempat mengeluh anak-anak muda).
12. Sasaran kemarahan siswa (bertindak sebagai obyek agresi yang timbul dari frustasi yang diciptakan orang dewasa).
13. Teman dan kepercayaan (membangun hubungan yang hangat dengan anak dan saling mempercayai).
14. Obyek perhatian (mematuhi kebutuhan psikologi anak).

Dari kutipan di atas, menunjukkan bahwa peranan guru dalam proses belajar mengajar tidak hanya menyangkut kegiatan instruksional, tetapi juga interaksional. Dengan perkataan lain, dalam proses belajar mengajar itu, guru telah menampilkan peranannya sebagai pengajar dan pembimbing atau pembina secara terpadu.
Guru tidak hanya diperlukan oleh para murid diruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Tampaknya masyarakat mendudukkan guru pada tempat yang terhormat dalam kehidupan masyarakat, yakni di depan memberi suri taulada, di tengah-tengah membangun, dan di belakang memberikan dorongan dan motivasi (Ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani).
Kedudukan guru yang demikian itu senantiasa relevan dengan zaman dan sampai kapan pun diperlukan. Kedudukan seperti itu merupakan penghargaan masyarakat yang tidak kecil artinya bagi guru, sekaligus merupakan tantangan yang menuntut prestise dan prestasi yang senantiasa terpuji dan teruji dari setiap guru.


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dalam pengelolaan kelas yang dilakukan oleh seorang guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Pengelolaan kelas ini mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu :
Tujuan umum : Pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik.
Tujuan khusus : Mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Membina dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan menuntun anak didik dalam perkembangannya dengan jalan memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sebagai pendidik, guru harus berlaku membina, dalam arti menuntun sesuai dengan kaidah yang baik dan mengarahkan perkembangan anak didik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
3.2 SARAN
Saran yang dapat disampaikan yaitu agar seorang guru melaksanakan tugas, peran, dan tanggung jawab seorang guru dengan baik. Profesi guru berbeda dengan profesi lainnya. Perbedaan tersebut terletak dalam tugas dan tanggung jawab yang besar serta kemampuan dasar yang disyaratkan (kompetensi).


DAFTAR PUSTAKA

Nuryadin, Hadin. Konsep dan Aplikasi Bimbingan Konseling untuk Sekolah Dasar. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2005.
Sardiman, A. M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2010.
Darajat, Zakiah, dkk. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1996.
Usman, Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1995.
Soetjipto & Raflis Kosasi. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.

# Situs internet dengan alamat :
http://cafebaca.blogspot.com/2009/09/peranan-guru-dalam-pengelolaan-kelas.html.
http://kumpulanmakalahpgsd.blogspot.com/2009/10/kedudukan-guru.html

MEDIA AUDIO VISUAL

BAB 1
PENDAHULUAN


Di era globalisasi ini , program pembelajaran seakan-akan belum dapat memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini terlihat ketika proses pembelajaran berlangsung, suasana kelas nampak tegang dan membosankan. Guru sibuk menyampaikan materi tanpa mau tau tentang siswanya faham atau tidak. “Paham tidak paham asal materi habis dan urusan menjadi beres”. Kebanyakan guru dalam mendidik selalu monoton atau tidak melakukan variasi-variasi. Banyak guru-guru yang GATEK (Gagap Teknologi) sehingga kurang mampu menggunakan media dalam proses pembelajaran.
Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran yang dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Fungsi media pendidikan dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya sekedar alat peraga bagi guru, melainkan pembawa pesan-pesan informasi dan pesan-pesan pembelajaran yang dibutuhkan peserta didik.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Media Audio-Visual

Media pembelajaran sangat beraneka ragam. Berdasarkan hasil penelitian para ahli, ternyata media yang beraneka ragam itu hampir semua bermanfaat. Cukup banyak jenis dan bentuk media yang telah dikenal dewasa ini, dari yang sederhana sampai yang berteknologi tinggi, dari yang mudah dan sudah ada secara natural sampai kepada media yang harus dirancang sendiri oleh guru. Dari ketiga jenis media yang ada yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran, bahwasanya media audio-visual adalah media yang mencakup 2 jenis media yaitu audio dan visual.
Media Audio-Visual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis Media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yaitu Media Audio dan Media Visual.
Sedangkan Dale (1969:180) mengemukakan bahwa bahan-bahan Audio-Visual dapat memberikan banyak manfaat asalkan guru berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Menurut (Harmawan, 2007) mengemukakan bahwa “Media Audio Visual adalah Media instruksional modern yang sesuai dengan perkembangan zaman (kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi) meliputi media yang dapat dilihat dan didengar)”.
Jika dilihat dari perkembangan Media Pendidikan, pada mulanya media hanya dianggap sebagai alat Bantu guru (teaching aids). Alat Bantu yang dipakai adalah alat Bantu visual misalnya gambar, model, objek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman kongkret, motivasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Namun sayang, karena terlalu memusatkan perhatian pada alat Bantu visual yang dipakainya orang kurang memperhatikan aspek disain, pengembangan pembelajaran (instruction) produksi dan evaluasinya. Dengan masuknya pengaruh teknologi audio pada sekitar pertengahan abad ke-20, alat visual untuk mengkonkretkan ajaran ini dilengkapi dengan alat audio sehingga kita kenal adanya alat audio-visual atau Audio-Visual Aids (AVA). “Alat Bantu Dengar” seperti : Video Tape, Televisi dan Gambar Hidup (biocope). Akan tetapi media bukan hanya menjadi alat Bantu guru atau seseorang pendidik lainnya, media mempunyai banyak manfaat bagi semua orang untuk mendapatkan informasi yang sedang berkembang dan mempermudah manusia menerima pesan darimana pun.
Konsep pengajaran visual kemudian berkembang menjadi Audio-Visual aids pada tahun 1940. Istilah ini bermakna sejumlah peralatan yang dipakai oleh para guru dalam menyampaikan konsep, gagasan, dan pengalaman yang ditangkap oleh indera pandang dan pendengaran. Penekanan utama dalam pengajaran audio-visual adalah pada nilai belajar yang diperoleh melalui pengalaman kongkret, tidak hanya didasarkan atas kata-kata belaka. Perkembangan berikutnya adalah munculnya gerakan audiovisual communication yang terjadi pada tahun 1950-an.
Pada akhir tahun 1950 teori komunikasi mulai mempengaruhi penggunaan alat Bantu audiovisual, sehingga selain sebagai alat Bantu media juga berfungsi sebagai penyalur pesan atau informasi belajar. Sejak saat itu alat audiovisual bukan hanya dipandang sebagai alat bantu guru saja, melainkan juga sebagai alat penyalur pesan atau media. Teori ini sangat penting dalam penggunaan media untuk kegiatan program-program pembelajaran.
Menurut seorang ahli komunikasi dan media pendidikan Rudy Breatz media pendidikan mempunyai ciri utama dan memiliki 3 unsur pokok yaitu : Suara, Visual dan gerak.
Teknologi yang paling tua yang dimanfaatkan dalam proses belajar adalah percetakan yang bekerja atas dasar prinsip mekanis, kemudian lahir teknologi Audio-Visual yang menggabungkan penemuan mekanis dan elektronis untuk tujuan pembelajaran.
Sebagai media pembelajaran dalam pendidikan dan pengajaran, media audio- visual mempunyai sifat sebagai berikut:
• Kemampuan untuk meningkatkan persepsi
• Kemampuan untuk meningkatkan pengertian
• Kemampuan untuk meningkatkan transfer (pengalihan) belajar.
• Kemampuan untuk memberikan penguatan (reinforcement) atau pengetahuan hasil yang dicapai
• Kemampuan untuk meningkatkan retensi (ingatan).

B. Karakteristik Media Audio- Visual & & Jenis-jenisnya

Karakteristik media Audio-Visual adalah memiliki unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua yaitu media audio dan visual. (Miarso: 1986,34).
Media Audio-Visual terdiri atas :
1. Audiovisual Diam
Yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti :
a. Film bingkai suara (sound slide)
Adalah suatu film berukuran 35 mm, yang biasanya dibungkus bingkai berukuran 2x2 inci tersebut dari karton atau plastik. Sebagai suatu program film bingkai sangat bervariasi. Panjang pendek film bingkai tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dan materi yang ingin disajikan. Ada program yang selesai dalam satu menit, tapi ada pula yang hingga satu jam atau lebih. Namun yang lazim, satu film bingkai bersuara (sound slide) lamanya berkisar antara 10-30 menit.
Dilihat dari ada tidaknya rekaman suara yang menyertainya, program film bingkai bersuara termasuk dalam kelompok media Audio-Visual sedangkan program tanpa suara termasuk dalam kelompok media visual.
Gabungan slide (film bingkai) dengan tape audio adalah jenis system multimedia yang paling mudah diproduksi. System multimedia ini serba guna, mudah digunakan dan cukup efektif untuk pembelajaran perorangan dan belajar mandiri. Jika didesain dengan baik, system multimedia gabungan slide dan tape dapat membawa dampak yang dramatis dan tentu saja dapat meningkatkan hasil belajar.
Media pembelajaran gabungan slide dan tape dapat digunakan pada berbagai lokasi dan untuk berbagai tujuan pembelajaran yang melibatkan gambar-gambar guna menginformasikan atau mendorong lahirnya respon emosional.
Slide bersuara merupakan suatu inovasi dalam pembelajaran yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran dan efektif membantu siswa dalam memahami konsep yang abstrak menjadi lebih konkrit (mengkonkritkan suatu yang bersifat abstrak). Dengan menggunakan slide bersuara sebagai media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat menyebabkan semakin banyak indra siswa yang terlibat ( visual, audio). Dengan semakin banyaknya indra yang terlibat maka siswa lebih mudah memahami suatu konsep (pemahaman konsep semakin baik). Slide bersuara dapat dibuat dengan menggunakan gabungan dari berbagai aplikasi komputer seperti: power point, camtasia, dan windows movie maker.
Slide bersuara memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
• Gambar yang diproyeksikan secara jelas akan lebih menarik perhatian.
• Dapat digunakan secara klasikal maupun individu.
• Isi gambar berurutan, dapat dilihat berulang- ulang serta dapat diputar kembali, sesuai dengan gambar yang diinginkan.
• Pemakaian tidak terikat oleh waktu.
• Gambar dapat didiskusikan tanpa terikat waktu serta dapat dibandingkan satu dengan yang lain tanpa melepas film dari proyektor.
• Dapat dipergunakan bagi orang yang memerlukan sesuai dengan isi dan tujuan pemakai.
• Sangat praktis dan menyenangkan.
• Relatif tidak mahal, karena dapat dipakai berulang kali.
• Pertunjukan gambar dapat dipercepat atau diperlambat.

b. Film Rangkai bersuara (Film Strip)
c. Halaman bersuara


2. Audiovisual Gerak
Yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti :
a. Film suara
Film sebagai media audio-visual adalah film yang bersuara. Slide atau filmstrip yang ditambah dengan suara bukan alat audio-visual yang lengkap, karena suara dan rupa berada terpisah, oleh sebab itu slide atau filmstrip termasuk media audio-visual saja atau media visual diam plus suara.
Film yang dimaksud disni adalah film sebagai alat audio-visual untuk pelajaran, penerangan atau penyuluhan. Banyak hal-hal yang dapat dijelaskan melalui film, antara lain tentang : proses yang terjadi dalam tubuh kita atau yang terjadi dalam suatu industri, kejadian2 dalam alam, tatacara kehidupan di Negara asing, berbagai industri dan pertambangan, mengajarkan sesuatu keterampilan, sejarah kehidupan orang-orang besar dan sebagainya.
Film merupakan media yang amat besar kemampuannya dalam membantu proses belajar mengajar. Ada 3 macam ukuran film yaitu 8 mm, 16 mm dan 35 mm.
Jenis pertama biasanya untuk keluarga, tipe 16 mm tepat untuk dipakai di sekolah sedang yang terakhir biasanya untuk komersial. Bentuk yang lama biasanya bisu. Suara disiapkan tersendiri dalam rekaman yang bisanya terpisah. Sebuah film terdiri dari ribuan gambar.
Film yang baik adalah film yang dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam hubungannya dengan apa yang dipelajari. Oemar Hamalik (1985:104) mengemukakan prinsip pokok yang berpegang kepada 4-R yaitu :
“ The right film in the right place at the right time used in the right way”.
b. Video / VCD
Video sebagai media Audio-Visual yang menampilkan gerak, semakin lama semakin populer dalam masyarakat kita. Pesan yang disajikan bias bersifat fakta maupun fiktif, bias bersifat informative, edukatif maupun instruksional. Sebagian besar tugas film dapat digantikan oleh video. Tapi tidak berarti bahwa video akan menggantikan kedudukan film.
Media video Merupakan salah satu jenis media audio visual, selain film. Yang banyak dikembangkan untuk keperluan pembelajaran, biasa dikemas dalam bentuk VCD.
Kelebihan video :
• Dapat menarik perhatian untuk periode-periode yang singkat
• Dengan alat perekam pita video sejumlah besar penonton memperoleh informasi dari ahli-ahli/spesialis
• Menghemat waktu
• Bisa mengamati lebih dekat objek yang sedang bergerak

c. Film Televisi
Selain film, televisi adalah media yang menyampaikan pesan-pesan pembelajaran secara Audio-Visual dengan disertai unsure gerak. Dilihat dari sudut jumlah penerima pesannya, televisi tergolong ke dalam media massa.
Selain sebagai media massa, kita mengenal adanya program Televisi Siaran Terbatas (TVST) atau Closed Circuit Television. Pada TVST sebagai suatu system distribusi TV, alat pengirim dan alat penerima secara fisik dihubungkan dengan kabel. Hubungan itu bisa antara sebuah kamera dan alat penerima di dalam ruang yang sama, bisa pula beberapa kelas dihubungkan dengan satu sumber ruang yang sama, sehingga penonton serentak dapat mengikuti program yang disiarkan.
Oemar Hamalik (1985 : 134) mengemukakan : “Television is an electronic motion picture with con joinded or attendant sound; both picture and sound reach the eye and ear simultaneously from a remote broadcast”. Definisi tersebut menjelaskan bahwa televisi sesungguhnya adalah perlengkapan elektronik yang pada dasarnya sama dengan gambar hidup yang meliputi gambar dan suara. Maka televisi sebenarnya sama dengan film, yakni dapat didengar dan dilihat. Media ini berperan sebagai gambar hidup dan juga sebagai radio yang dapat dilihat dan didengar secara bersamaan.

d. Film Gelang (Loop Film)

Dilihat dari segi keadaannya, media audiovisual dibagi menjadi :
• Audiovisual Murni yaitu unsur suara maupun unsur gambar berasal dari suatu sumber seperti film/video audio cassette.
• Audiovisual tidak murni yaitu unsur suara dan gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slide proyektor dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder.

Dan dilihat dari daya liputnya, media dibagi menjadi, Pertama, media dengan daya liput luas dan serentak. Penggunaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau jumlah siswa yang banyak dalam waktu yang sama. Kedua, media dengan daya liput yang terbatasoleh ruang dan tempat. Media ini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti, film, sound slide, film rangkai, yang harus menggunakan tempat tertutup dan gelap.

C. Kelebihan & Kelemahan Media Audio-Visual
Beberapa Kelebihan atau kegunaan media Audio-Visual pembelajaran sama dengan pengajaran Audio & visual yaitu:
• Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata, tertulis atau lisan belaka)
• Mengatasi perbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti:
a. Objek yang terlalu besar digantikan dengan realitas, gambar, filmbingkai, film atau model
b. Obyek yang kecil dibantu dengan proyektor micro, film bingkai, film atau gambar
c. Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat dapat dibantu dengan tame lapse atau high speed photografi
d. Kejadian atau peristiwa yang terjadi masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film,video, film bingkai, foto maupun secara verbal
e. Obyek yang terlalu kompleks (mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dll
f. Konsep yang terlalu luas (gunung ber api, gempa bumi, iklim dll) dapat di visualkan dalam bentuk film,film bingkai, gambar,dll.
• Media audio visual bisa berperan dalam pembelajaran tutorial.


Pengajaran audio-visual juga mempunyai beberapa kelemahan yang sama dengan pengajaran visual, yaitu :
• Terlalu menekankan pentingnya materi ketimbang proses pengembangannya dan tetap memandang materi audio-visual sebagai alat Bantu guru dalam mengajar.
• Terlalu menekankan pada penguasaan materi dari pada proses pengembangannya dan tetap memandang materi audio visual sebagai alat Bantu guru dalam proses pembelajaran. Media yang beoriantsi pada guru sebernarnya
• Media audio visual cenderung menggunakan model komunikasi satu arah.
• Media audio-visual tidak dapat digunakan dimana saja dan kapan saja, karna media audio-visual cenderung tetap di tempat.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Media Audio-Visual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis Media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yaitu Media Audio dan Media Visual.
Dilihat dari segi keadaannya, media audiovisual dibagi menjadi :
• Audiovisual Murni yaitu unsur suara maupun unsur gambar berasal dari suatu sumber.
• Audiovisual tidak murni yaitu unsur suara dan gambarnya berasal dari sumber yang berbeda.
Setiap media pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan yang antara lain,memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis dan kelemahan pada media audio visual adalah terlalu menekankan pada penguasaan materi dari pada proses pengembangannya.
Media sebenarnya akan sangat membantu dalam mewujudkan tujuan pendidikan meskipun banyak kekurangan yanng ada didalamnya. Maka diharapkan kekreatifitasan guru dalam memilih media mana yang lebih cocok untuk diterapkan dalam kelas. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah materi yang akan disampaikan, situasi kelas dan sarana pra sarana.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag dkk. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta ; PT Rineka Cipta.
Dr. M. Sobry Sutikno. 2009. Belajar dan pembelajaran “Upaya Kreatif dalam Mewujudkan Pembelajaran yang Berhasil”. Bandung; Prospect.
Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA. 2007. Media Pembelajaran. Jakarta ; Raja Grofindo Persada.
Dr. Arief S. Sadiman, M. Sc, dkk. 2006. Media Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Dr. Nana Sudjana dkk. 2007 .Teknologi Pengajaran. Bandung; Sinar Baru Algensindo.
Prof. Dr. H. Aminuddin Rasyad. 2003. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta Timur ; Uhamka Press.
M. Basyirudin Usman-Asnawir. 2002. Media pembelajaran. Jakarta; Delia Citra Utama.

# Situs Internet dengan alamat :
• http://edukasi.kompasiana.com/2010/04/11/media-audio-visual-slide-bersuara/ (11:57, Senin 30-03-2011)

JENIS-JENIS ALAT EVALUASI / INSTRUMEN “NON TES”

BAB I
PENDAHULUAN

Untuk memperjelas pengertian “alat” atau “ instrument”, terapkan pada dua cara mengupas kelapa, yang satu menggunakan pisau parang, yang satu lagi tidak. Tentu saja hasilnya akan lebih baik dan pekerjaannya berakhir lebih cepat dibandingkan dengan cara yang pertama. Dalam kegiatan evaluasi, fungsi alat juga untuk memperoleh hasil yang lebih baik sesuai dengan kenyataan yang dievaluasi.
Dengan pengertian tersebut maka alat evaluasi dikatakan baik apabila mampu mengevaluasi sesuatu yang dievaluasi dengan hasil seperti keadaan yang dievaluasi. Dalam menggunakan alat tersebut evaluator menggunakan cara atau teknik, dan oleh karna itu dikenal dengan teknik evaluasi. Seperti disebutkan di atas ada dua teknik evaluasi yaitu teknik nontes dan teknik tes. Pada makalah kali ini akan dijelaskan mengenai teknik evaluasi non tes.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teknik Non Tes
Teknik Non tes merupakan cara pengumpulan data tidak menggunakan alat-alat baku, dengan demikian tidak bersifat mengukur dan tidak diperoleh angka-angka sebagai hasil pengukuran. Teknik ini hanya bersifat mendeskripsikan atau memberikan gambaran, hasilnya adalah suatu deskripsi atau gambaran. Terhadap gambaran-gambaran yang diperoleh dapat dibuat interpretasi, penyimpulan-penyimpulan bahkan dengan kualifikasi tertentu.
Dengan Teknik Non tes maka penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa “menguji” peserta didik, melainkan dilakukan dengan melakukan beberapa jenis teknik non tes. Teknik non tes ini pada umumnya memegang peranan yang penting dalam rangka mengevaluasi hasil belajar peserta didik daris segi ranah sikap hidup (effective domain) dan ranah keterampilan (psychomotoric domain), sedangkan teknik tes sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini, lebih banyak digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah proses berfikirnya (cognitive domain).

B. Jenis-jenis Teknik Non Tes
Teknik non tes ini tergolong menjadi beberapa bagian :
1. Skala bertingkat (Rating Scale)
Skala menggambarkan suatu nilai yang berbentuk angka terhadap sesuatu hasil pertimbangan. Seperti Oppenheim mengatakan : ”Rating gives a numerical value to some kind of judgement’’, maka suatu skala selalu disajikan dalam bentuk angka.
Ranting scale tidak hanya untuk mengukur persepsi responden terhadap fenomena lingkungan, seperti skala untuk mengukur status ekonomi, pengetahuan dan kemampuan. Yang paling penting dalam ranting scale adalah kemampuan menerjemahkan alternative jawaban yang dipilih responden.
Dalam ranting scale fenomena-fenomena yang akan diobservasi itu disusun dalam tingkatan-tingkatan yang telah ditentukan. Jadi, ranting scale tidak hanya mengukur secara mutlak ada atau tidaknya variable tertentu, tetapi kita lebih jauh mengukur bagaimana intensitas gejala yang kita ingin mengukurnya.
Contoh tabel dalam rangka menilai sikap peserta didik dalam mengikuti pengajaran pendidikan agama islam di sekolah.

2. Kuesioner (Questionair) / Angket
Pada dasarnya kuesioner adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur (responden). Dengan kuesioner ini orang dapat diketahui tentang keadaan / data diri, pengalaman, pengetahuan sikap atau pendapatnya dan lain-lain.
Angket termasuk alat untuk mengumpulkan dan mencatat data atau informasi, sikap, dan faham dalam hubungan kausal. Angket mempunyai kesamaan dengan wawancara. Dalam wawancara, pewawancara berhadapan langsung dengan responden atau siswa, sedangkan dengan angket, dilaksanakan secara tertulis dan penilaian hasil belajar akan jauh lebih praktis, hemat waktu dan tenaga.
Kuesioner sering digunakan untuk menilai hasil belajar ranah efektif. Ia dapat berupa kuesioner bentuk pilihan ganda (multiple choice item) dan dapat pula berbentuk skala sikap.
Berikut ini dikemukakan contoh kuesioner bentuk pilihan ganda dalam rangka mengungkap hasil belajar pendidikan agama Islam ranah efektif (Kurikulum dan GBPP Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Tahun 1994).


Tentang macam kuesioner, dapat ditinjau dari beberapa segi :
a. Ditinjau dari segi siapa yang menjawab, maka ada :
1) Kuesioner langsung
Kuesioner dikatakan langsung jika kuesioner tersebut dikirimkan dan diisi langsung oleh orang yang akan dimintai jawaban tentang dirinya.
2) Kuesioner tidak langsung
Adalah kuesioner yang dikirimkan dan diisi oleh bukan orang yang diminta keterangannya. Kuesioner tidak langsung biasanya digunakan untuk mencari informasi tentang bawahan, anak, saudara, tetangga dan sebagainya.
b. Ditinjau dari segi cara menjawab
1) Kuesioner tertutup
adalah kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban lengkap sehingga pengisi hanya tinggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih.
2) Kuesioner terbuka
adalah kuesioner yang disusun sedemikian rupa sehingga para pengisi bebas mengemukakan pendapatnya. Kuesioner terbuka disusun apabila macam jawaban pengisi belum terperinci denga jelas sehingga jawabannya akan beraneka ragam. Keterangan tentang alamat pengisi, tidak mungkin diberikan dengan cara memilih pilihan jawaban yang disediakan.
3. Daftar cocok (Check List)
Yang dimaksud dengan daftar cocok adalah deretan pertanyaan (yang biasanya singkat-singkat), dimana responden yang dievaluasi tinggal membubuhkan tanda cocok ( ) di tempat yang sudah disediakan.
Menurut Sobry Sutikno (2009:134) Check List adalah suatu daftar yang berisi subjek dan aspek-aspek yang akan diamati. Ada bermacam-macam aspek perbuatan yang biasanya dicantumkan dalam daftar cek, kemudian observer tinggal memberikan tanda cek pada tiap-tiap aspek tersebut sesuai dengan hasil pengamatannya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya skala bertingkat dapat digolongkan ke dalam daftar cocok karena dalam skala bertingkat, responden juga diminta untuk memberikan tanda cocok pada pilihan yang tepat.
4. Wawancara (Interview)
Wawancara atau interview adalah suatu metode atau cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan Tanya-jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena dalam wawancara ini responden tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan hanya diajukan oleh subjek evaluasi.
Menurut Zakiah Daradjat (1996: 177) Wawancara adalah pertemuan antarpribadi yang dilakukan secara informal antara seorang atau sejumlah murid dengan seorang dewasa untuk memperoleh pendapat otoritatif atas keterangan-keterangan informal mengenai beberapa hal.
Sedangkan menurut Sobry Sutikno (2009:134) wawancara adalah komunikasi langsung antara yang mewawancarai dengan yang diwawancarai. Tujuan wawancara ialah :
 Untuk memperoleh informasi guna menjelaskan suatu situasi dan kondisi tertentu
 Untuk melengkapi suatu penyelidikan ilmiah
 Untuk memperoleh data agar dapat mempengaruhi situasi atau orang tertentu.
Wawancara dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a) Interviu bebas, dimana responden mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya, tanpa dibatasi oleh patokan-patokan yang telah dibuat oleh subjek evaluasi.
b) Interviu terpimpin, yaitu interviu yang dilakukan oleh subjek evaluasi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun terlebih dahulu.
Diantara kelebihan yang dimiliki oleh wawancara adalah bahwa dengan melakukan wawancara, pewawancara dengan evaluator (guru, dosen dll) dapat melakukan kontak langsung dengan peserta didik yang akan dinilai, sehingga dapat diperoleh hasil penilaian yang lebih lengkap dan mendalam.
Wawancara juga dapat dilengkapi dengan alat Bantu berupa tape recorder (alat perekan suara), sehingga jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat dicatat dengan secara lebih lengkap.

5. Pengamatan (observasi)
Adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis.
Secara umum, observasi dapat diartikan sebagai penghimpunan bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap berbagai fenomena yang dijadikan objek pengamatan.
Observasi sebagai alat evaluasi banyak digunakan untuk menilai tingkah laku individu atau proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan. Observasi dapat mengukur dan menilai hasil dan proses belajar; misalnya tingkah laku peserta didik pada waktu guru pendidikan agama menyampaikan pelajaran di kelas, tingkah laku peserta didik pada jam-jam istirahat atau pada saat terjadinya kekosongan pelajaran, perilaku peserta didik pada saat shalat jama’ah di musholla sekolah, ceramah-ceramah keagamaan, upacara bendera, ibadah sholat tarawih dan sebagainya.
Ada 2 macam observasi :
a) Observasi partisipan yaitu observasi yang dilakukan oleh pengamat, tetapi dalam pada itu pengamat memasuki dan mengikuti kegiatan kelompok yang sedang diamati.
b) Observasi sistematik yaitu observasi dimana faktor-faktor yang diamati sudah didaftar secara sitematis dan sudah diatur menurut kategorinya. Berbeda dengan observasi partisipan, maka dalam observasi sistematik ini pengamat berada di luar kelompok. Dengan demikian pengamat tidak dibingungkan oleh situasi yang melingkungi dirinya.
c) Observasi eksperimen, terjadi jika pengamat tidak berpartisipasi dalam kelompok. Dalam hal ini ia dapat mengendalikan unsur-unsur penting dalam situasi sedemikian rupa sehingga situasi itu dapat diatur sesuai dengan tujuan evaluasi.
Berikut ini dikemukakan dua buah instrument evaluasi berupa daftar isian dalam rangka menilai keterampilan peserta didik, dalam suatu observasi sistematis.
Contoh 1:

Hasil penilaian dengan menggunakan instrument tersebut di atas sifatnya adalah individual. Setelah selesai, nilai-nilai individual itu dimasukkan ke dalam daftar nilai yang sifatnya kolektif, seperti contoh berikut ini:

Penilaian atau evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan dengan melakukan observasi itu disamping memiliki kebaikan, juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Diantara segi kebaikan yang dimiliki oleh observasi itu ialah, bahwa:
a. Data observasi itu diperoleh secara langsung dilapangan, yakni dengan jalan melihat dan mengamati kegiatan peserta didik di dalam melakukan sesuatu, dengan demikian data tersebut dapat lebih bersifat obyektif dalam melukiskan aspek-aspek kepribadian peserta didik menurut keadaan yang senyatanya.
b. Data hasil observasi dapat mencakup berbagai aspek kepribadian masing-masing individu peserta didik; dengan demikian maka di dalam pengolahannya tidak berat sebelah atau hanya menekankan pada salah satu segi saja dari kecakapan atau prestasi belajar mereka.
Adapun segi kelemahannya adalah :
a. Observasi sebagai salah satu alat evaluasi hasil belajar tidak selalu dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh para pengajar. Guru yang tidak atau kurang memiliki kecakapan atau keterampilan dalam melakukan observasi, maka hasil observasinya menjadi kurang dapat diyakini kebenarannya.
b. Kepribadian (personality)dari observer atau evaluator juga acapkali mewarnai atau menyelinap masuk ke dalam penilaian yang dilakukan dengan cara observasi. Prasangka-prasangka yang mungkin melekat pada diri observer (evaluator) dapat mengakibatkan sulit dipisahkan secara tegas mengenai tingkah laku peserta didik yang diamatinya.
c. Data yang diperoleh dari kegiatan observasi umumnya baru dapat mengungkap “kulit luar”nya saja. Adapun apa-apa yang sesungguhnya terjadi di balik hasil pengamatan itu belum dapat diungkap secara tuntas hanya dengan melakukan observasi saja.
6. Riwayat Hidup
Adalah gambaran tentang keadaan seseorang selama dalam masa kehidupannya. Dengan mempelajari riwayat hidup, maka subjek evaluasi akan dapat menarik suatu kesimpulan tentang kepribadian, kebiasaan dan sikap dari objek yang dinilai.
Evaluasi mengenai kemajuan, perkembangan atau keberhasilan belajar peserta didik tanpa menguji (teknik nontes) juga dapat dilengkapi atau diperkaya dengan cara melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen, misalnya dokumen yang memuat informasi mengenai riwayat hidup (auto biografi).
Selain itu juga dokumen yang memuat informasi tentang orang tua peserta didik, seperti: nama, tempat tingga;, tempat dan tanggal lahir, agama yang dianut, pekerjaan pokoknya, tingkat atau jenjang pendidikannya, rata-rata penghasilannya setiap bulan dan sebagainya.
7. Skala Sikap
Skala sikap merupakan kumpulan pertanyaan-pertanyaan mengenai sikap suatu objek. Sikap merupakan sesuatu yang dipelajari. Sikap menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupannya. Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk berbuat sesuatu dengan cara, metode, teknik dan pola tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa orang-orang maupun berupa obyek-obyek tertentu.
Untuk mengukur sikap, dapat dilakukan dengan menggunakan skala sikap yang dikembangkan oleh Likert. Ada 2 bentuk pertanyaan yang menggunakan skala Likert ini yaitu :
1. Bentuk pertanyaan positif untuk mengukur sikap positif
2. Bentuk pertanyaan negatif untuk mengukur sikap negatif.

Dari uraian tersebut dapatlah dipahami, bahwa dalam rangka evaluasi hasil belajar peserta didik, evaluasi itu tidak harus semata-mata dilakukan dengan menggunakan alat berupa tes-tes hasil belajar. Teknik-teknik nontes juga menempati kedudukan yang penting dalam rangka evaluasi hasil belajar, lebih-lebih evaluasi yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan peserta didik, seperti persepsinya terhadap mata pelajaran tertentu, persepsinya terhadap guru, minatnya, bakatnya, tingkah laku atau sikapnya dan sebagainya, yang kesemuanya itu tidak mungkin dievaluasi dengan menggunakan tes sebagai alat pengukurnya.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam kegiatan evaluasi, fungsi alat juga untuk memperoleh hasil yang lebih baik sesuai dengan kenyataan yang dievaluasi. Alat evaluasi dikatakan baik apabila mampu mengevaluasi sesuatu yang dievaluasi dengan hasil seperti keadaan yang dievaluasi.
• Jenis-jenis Teknik Non Tes
1. Skala bertingkat (Rating Scale)
2. Kuesioner (Questionair) / Angket
3. Daftar cocok (Check List)
4. Wawancara (Interview)
5. Pengamatan (observasi)
6. Riwayat Hidup
7. Skala Sikap
Dalam rangka evaluasi hasil belajar peserta didik, evaluasi itu tidak harus semata-mata dilakukan dengan menggunakan alat berupa tes-tes hasil belajar. Teknik-teknik nontes juga menempati kedudukan yang penting dalam rangka evaluasi hasil belajar.


DAFTAR PUSTAKA

Sutikno, Sobry. Belajar dan pembelajaran “Upaya Kreatif dalam Mewujudkan Pembelajaran yang Berhasil”. Bandung: Prospect. 2009.

Arikunto, Suharsimi. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Bumi Aksara. Cet. 8. 2008.

Darajat, Zakiah, dkk. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1996.

Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.

Organisasi dan Administrasi Pelayanan Bimbingan Dan Penyuluhan Di Sekolah.

BAB I
PENDAHULUAN

Pelayanan bimbingan dan konseling meniscayakan manajemen agar tercapai efisiensi dan efektivitas serta tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, setidaknya ada 3 alasan mengapa manajemen itu diperlukan termasuk dalam dunia pelayanan bimbingan dan konseling, yaitu pertama, untuk mencapai tujuan. Kedua, untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan (apabila ada). Manajemen diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan apabila ada yang saling bertentangan dari pihak-pihak tertentu seperti kepala sekola dan madrasah, para guru, tenaga administrasi, para siswa, orang tua siswa, komite sekolah dan madrasah, dan pihak-pihak lainnya. Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan efektivitas. Efisiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar atau merupakan perhitungan rasio antara keluaran (output) dengan masukan (input). Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan Madrasah yang efektif atau coordinator layanan BK yang efektif dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan atau metode yang tepat untuk mencapai tujuan sekolah dan madrasah atau tujuan layanan BK. Menurut Peter Drucker dalam T. Hani Handoko (1999), efektifitas adalah melakukan pekerjaan yang benar, sedangkan efisiensi adalah melakukan pekerjaan dengan benar.



BAB II
PEMBAHASAN

A) Prinsip-Prinsip Organisasi dan Administrasi Pelayanan Bimbingan Dan Penyuluhan Di Sekolah.
Dalam merencanakan organisasi dan administrasi program Bimbingan sejumlah prinsip-prinsip dasar perlu mendapat perhatian para petugas sekolah. Di antara prinsip-prinsip itu berikut ini yang terpenting:
1) Program bimbingan yang efektif harus menghasilkan timbulnya suatu sikap pada anak yang dapat memahami dirinya sendiri, dapat membantu diri sendiri dan dapat mengarahkan diri sendiri dengan lebih baik.
2) Program itu harus merupakan bagian yang vital dan integral daripada keseluruhan program sekolah dan harus erat sekali berhubungan dengan kegiatan-kegiatan murid di rumah dan masyarakat.
3) Program itu harus di dasarkan pada minat, motif-motif yang mendesak dan tujuan-tujuan hidup murid.
4) Program itu harus berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan perkembangan anak yang telah dipengaruhi oleh lingkungannya serta factor-faktor lain.
5) Program itu harus merupakan program yang kontinu dan yang bertujuan melayani semua anak-anak sekolah, dan bukan hanya anak-anak yang bertingkah laku tidak baik saja.
6) Program itu harus mudah dalam pengaturan dan tata laksananya.
7. Program itu harus dipersiapkan untuk menemukan dan memecahkan berbagai masalah anak.
8. Program itu harus merupakan usaha bersama semua anggota staf sekolah.
9. Penempatan personil sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.
10. Rencana harus tersusun secara sederhana dalam arti mudah dipelajari, mudah dilaksanakan, mudah dikontrol dan fleksibel.
11. Rencana harus disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia.
Prinsip-prinsip umum tersebut dikemukakan dengan maksud memberi arah yang baik bagi mereka yang menghendaki suatu organisasi program bimbingan yang fungsional.

B. Pola Organisasi yang Sederhana
Sekolah merupakan suatu lembaga social. Selain itu, sekolah dan madrasah juga merupakan suatu unit kerja, sekolah dikelola atau di organisasi menurut pola-pola atau kerangka hubungan structural tertentu. Yang dimaksud pola manajemen pelayanan bimbingan dan konseling adalah kerangka hubungan structural antara berbagai kedudukan dalam pelayanan bimbingan konseling di sekolah. Kerangka hubungan tersebut digambarkan dalam suatu struktur organisasi pelayanan bimbingan dan konseling.
Dalam kondisi dan situasi seperti yang kita hadapi dewasa ini lebih baik kita mulai dengan organisasi bimbingan yang sederhana dulu. Tidak perlu kita menunggu terlebih dahulu adanya petugas bimbingan yang terdidik dan terlatih khusus dengan segala fasilitasnya yang serba lengkap.
Pola organisasi berikut dapat diterapkan di tiap sekolah yang bermaksud melaksanakan program bimbingan di sekolahnya.
Sesuai dengan pola organisasi di atas, maka pengawas pemilik sekolah (bagi SD) merupakan administrator kepala dalam program bimbingan di sekolah, dan kepala sekolah adalah petugas utama dalam administrasi bimbingan lagi masing-masing sekolahnya.
Guru, yang setiap hari berhubungan dengan murid-muridnya, mendapat tugas untuk melaksanakan sebagian besar kegiatan-kegiatan bimbingan. Ia dibantu dalam tugasnya oleh kepala sekolah, guru penyuluh dan oleh pengawas.
Jika keadaan memungkinkan adalah sangat baik apabila bagi setaip 5 atau 10 orang guru dapat diangkat seorang guru penyuluh khusus.
C. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk memulai melaksanakan program bimbingan
Untuk menjamin kelancaran Organisasi pelayanan bimbingan perlu sekali disiapkan suatu rencana kerja yang baik dan mendapat dukungan dari segenap anggota staf. Guru-guru yang telah mendapat pelajaran khusus dalam bimbingan dan penyuluhan, baik di sekolah maupun dalam rapat-rapat kerja atau up grading, hendaknya mengambil prakarsa dan berpartisipasi secara aktif dalam usaha mengembangkan rencana tersebut.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam mengatur organisasi program bimbingan di sekolah perlu mencakup tahap-tahap sebagai berikut:
1. Pembentukan Dewan Bimbingan yang akan melaksanakan fungsi permulaan dan dipimpin oleh kepala sekolah. Untuk memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan rencana mengadakan berbagai pelayanan bimbingan, maka peru dibentuk seksi-seksi, antara lain:
a. Seksi yang bertugas menyiapkan catatan-catatan kumulatif yang diperlukan.
b. Seksi yang bertugas menyiapkan program kegiatan-kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler.
c. Seksi yang bertugas menyiapkan program kegiatan pendidikan kejuruan.
d. Seksi yang bertugas menyiapkan program hubungan masyarakat.
e. Seksi yang bertugas menyiapkan program testing dan evaluasi.
f. Seksi yang bertugas menyiapkan program In-service training bagi semua petugas sekolah.
2. Kesempatan bekerja diberikan kepada seksi-seksi dengan ditetapkan batas waktu, umpamanya 1 atau 2 minggu. Tiap-tiap seksi harus menghasilkan rencana dan program kerja yang akan dilaksanakan.
3. Rapat Pleno Dewan Bimbingan diadakan untuk membicarakan progress report seksi-seksi. Rapat tersebut harus menghasilkan rencana dan program kerja yang akan dilaksanakan.
4. Pelaksanaan rencana dan program kerja yang telah disetujui. Kepala sekolah dengan dibantu oleh seluruh anggota staf mengadakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Menyiapkan catatan-catatan kumulatif yang diperlukan.
b. Menentukan program testing dan evaluasi.
c. Menyempurnakan organisasi perpustakaan sekolah dan menambah isinya, terutama dengan bahan-bahan yang diperlukan untuk membantu kelancaran program bimbingan.
d. Mengadakan ruang khusus untuk keperluan penyuluhan dengan alat-alat dan perlengkapan yang diperlukan.
e. Memperbaiki hubungan antara sekolah dengan rumah, dan antara sekolah dengan masyarakat. Sehubungan dengan ini penerangan diberikan kepada masyarakat mengenai program bimbingan di sekolah.
f. Mengadakan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, seperti usaha halaman, gerakan pramuka, kesenian, olahraga dan lain-lain, serta menyiapkan prasarananya yang diperlukan.
Bila keadaan membantu perlu ditunjuk seorang guru untuk bertindak sebagai guru penyuluh atau counselor khusus.
5. Memulai program Bimbingan oleh guru penyuluh.
Setelah guru penyuluh dan setelah ada ruangan kerjanya yang khusus yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan alat-alat yang diperlukan, termasuk catatan-catatan kumulatif dan berbagai formulir serta catatan-catatan wawancara, maka ia harus memulai program bimbingan itu dengan mengadakan wawancara dengan sebuah kelas atau sekelompok murid yang telah dipilihnya.
Tentu saja penting sekali bagi keberhasilan program bimbingan bahwa guru penyuluh itu harus sudah memahami segala tujuan, prinsip-prinsip dan teknik-teknik bimbingan serta tugas dan tanggung jawab sebagai counselor.
D. Perencanaan program In-Service Training (Penataran) bagi petugas-petugas Bimbingan
1. Pengertian dan Tujuan In-Service Training
Yang dimaksud dengan In-Service Training ialah semua usaha pendidikan dan pengalaman untuk meningkatkan keahlian guru dan pegawai guna menyelaraskan pengetahuan dan keterampilan mereka dengan bidangnya masing-masing. In-Service Training merupakan suatu tuntunan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Adapun tujuannya ialah:
a) Mempertinggi mutu para petugas dalam bidang profesinya masing-masing.
b) Meningkatkan efisiensi kerja menuju kearah tercapainya hasil yang optimum.
c) Mengembangkan kegairahan kerja dan meningkatkan kesejahteraan.
2. Tempat Penyelenggaraan
Bisa di selenggarakan di dalam negeri atau bisa juga di luar negeri. Adapun In-Service Training di dalam negeri dapat dilaksanakan:
a) Pada lembaga-lembaga pendidikan guru.
b) Pada kursus-kursus penataran dan kursus-kursus lain.
c) Pada tempat yang ditentukan sesuai dengan taraf lingkungan : Nasional, Propinsi dan daerah.
d) Di sekolah masing-masing.
Penyelenggaraan di luar Negeri ditentukan tempatnya oleh pemerintah melalui prosedur yang berlaku.
3. Penyelenggaraan In-Service Training di Sekolah
Kepala Sekolah merupakan pimpinan dan penanggung jawabnya. Dalam pelaksanaannya dibentuk suatu seksi yang diberi nama: seksi In-Service Training.
Sehubungan dengan program ini, berikut ini dikemukakan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian:
a. Program In-Service Training dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan program sekolah (jadwal tahunan).
Program ini diadakan dengan persiapan yang matang serta memperhatikan:
1) Taraf kegiatan sekolah masing-masing.
2) Disesuaikan dengan urgensi persoalan.
b. Dalam pelaksanaannya dipergunakan tenaga dari dalam dan apabila diperlukan dapat diundang manusia sumber dari luar sekolah.
c. Seluruh hasil kegiatan In-Service Training harus diabadikan dalam sebuah dokumentasi pendidikan dan harus dilengkapi dengan catatan hasil pelaksanaannya.
d. Evaluasi diadakan pada akhir tahun pelajaran yang di dalamnya dapat diikut sertakan staf guru, murid dan masyarakat.
e. Supaya program In-Service Training itu berhasil dengan baik, diperlukan dana khusus yang didapat baik dari pemerintah setempat maupun dari usaha-usaha lain yang sah.
4. Penyelenggaraan di Sekolah bagi Petugas-petugas Bimbingan
Seperti telah dikemukakan di atas maka untuk kelancaran kerja, pertama sekali perlu dibentuk seksi In-Service Training. Tugas seksi inilah yang harus mencari kontak dengan sumber-sumber dari luar sekolah, untuk mendapatkan manusia-manusia sumber yang benar-benar ahli dan mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dikehendaki para peserta. Seksi ini pula yang harus merencanakan dan menetapkan isi program In-Service Training tersebut. Sangat berguna apabila dalam seksi itu terdapat sekurang-kurangnya seorang anggota staf yang mempunyai pengetahuan mengenai fungsi utama program bimbingan dan teknik-teknik counseling yang berguna.
5. Peranan Seksi In-Service Training
Seksi ini bertanggungjawab dalam merencanakan dan menetapkan:
a. Peserta In-Service Training.
b. Waktu dan tempat penyelenggaraan.
c. Fase-fase penting program bimbingan yang akan dijadikan isi program In-Service Training.
d. Tenaga-tenaga pengajar yang perlu diambil, baik dari dalam maupun dari luar.
e. Metode dan teknik yang akan dipergunakan, umpamanya : ceramah-ceramah, diskusi, observasi, seminar, workshop, karyawisata dan lain-lain.
f. Pembiayaan.
6. Fase-fase penting dalam program bimbingan yang akan dijadikan isi program In-Service Training
Ada dua kelompok guru yang harus diperhatikan dalam penyusunan program In-Service Training, yakni: guru-guru penyuluh dan guru-guru biasa. Guru-guru biasa ini, yang merupakan kelompok yang terbesar, tidak memerlukan training dalam bimbingan dan penyuluhan yang mendalam dan eksistensi. Kepada kelompok ini cukuplah bila diberikan pelajaran mengenai prosedur umum dalam mempelajari dan memahami anak didik, ditambah dengan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar, fungsi-fungsi bimbingan dan teknik-teknik yang dipergunakan dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan.
Di antara fase-fase penting dalam pelayanan bimbingan yang perlu mendapat perhatian untuk dimasukkan sebagai isi program In-Service Training adalah:
a) Tujuan dan prinsip-prinsip dasar pelayanan bimbingan.
b) Peranan guru dalam bimbingan.
c) Penggunaan berbagai jenis pencatatan, termasuk catatan kumulatif, catatan anekdot, catatan test dsb.
d) Prosedur yang harus di tempuh dalam melaksanakan studi kasus dan case history.
e) Teknik-teknik yang dipergunakan dalam mempelajari sifat-sifat dan sikap anak-anak dan bagaimana menafsirkan tingkah laku mereka.
f) Metode melaksanakan wawancara dengan murid dan dengan orang tua.
g) Penggunaan sumber-sumber informasi pra-kejuruan dan pekerjaan/mata pencaharian secara efektif, termasuk kurikulum sendiri dan sumber-sumber luar.
h) Penggunaan berbagai alat evaluasi dan diagnostik secara baik, termasuk test-test kepribadian, kecerdasan, sikap, minat, pembawaan, hasil belajar dan test sosiometrik.
i) Latihan khusus dan mendalam bagi guru-guru penyuluh dan petugas-petugas bimbingan lainnya.
7. Beberapa bentuk pelaksanaan program In-Service Training dalam Bimbingan dan Penyuluhan
Mengingat urgensi pelayanan bimbingan di sekolah, maka perlu diselenggarakan berbagai bentuk pelaksanaan program In-Service Training. Di antara rencana-rencana yang paling efektif untuk membantu para petugas sekolah dan guru-guru adalah:
a. Kursus-kursus ekstension dan profesionil.
Bentuk ini diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli atau prakarsa pengawas counselor atau kepala sekolah. Dilaksanakan pada liburan-liburan panjang atau pada malam hari.
b. Belajar melalui observasi, konperensi-konperensi dan konsultasi.
Observasi terhadap program bimbingan dan penyuluhan pada sekolah-sekolah lain, dilengkapi dengan konsultasi dan konperensi dengan para ahli, akan sangat menguntungkan bagi para petugas, apabila hal itu dilaksanakan selama waktu In-Service Training. Usaha ini menunjukan pada para peserta bagaimana orang lain mempraktekkan program bimbingan itu, sehingga dapat disusun rencana untuk melaksanakan program serupa di sekolah sendiri.
c. Lokakarya (Workshop), rapat-rapat kerja dan seminar.
Usaha-usaha ini sebaiknya diadakan secara teratur pada hari-hari libur panjang atau pada waktu lain yang baik. Ini pun sebaiknya diprakarsai oleh pengawas counselor. Suatu hal yang menggembirakan ialah bahwa dalam rangka pelaksanaan pelita telah dimasukkan suatu kegiatan yang dinamakan “Upgrading Guru-guru SD”. Alangkah baiknya apabila “Bimbingan dan Penyuluhan” dapat dimasukkan sebagai salah satu subyek yang tetap dan diberikan secara kontinyu tiap-tiap tahun pada para peserta upgrading.


KESIMPULAN

Prinsip-Prinsip Organisasi dan Administrasi Pelayanan Bimbingan Dan Penyuluhan Di sekolah:
• Program itu harus merupakan bagian yang vital dan integral.
• Program bimbingan yang efektif harus menghasilkan timbulnya suatu sikap pada anak yang dapat memahami dirinya sendiri.
• Program itu harus di dasarkan pada minat.
• Program itu harus berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan perkembangan anak.
• Program itu harus merupakan program yang kontinue. Dsb
Sekolah merupakan suatu lembaga social. Selain itu, sekolah dan madrasah juga merupakan suatu unit kerja, sekolah dikelola atau diorganisasi menurut pola-pola atau kerangka hubungan structural tertentu.
In-Service Training ialah semua usaha pendidikan dan pengalaman untuk meningkatkan keahlian guru dan pegawai guna menyelaraskan pengetahuan dan keterampilan mereka dengan bidangnya masing-masing. In-Service Training merupakan suatu tuntunan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Tujuan In-Service Training adalah :
a) Mempertinggi mutu para petugas dalam bidang profesinya masing-masing.
b) Meningkatkan efisiensi kerja menuju kearah tercapainya hasil yang optimum.
c) Mengembangkan kegairahan kerja dan meningkatkan kesejahteraan.
Ada dua kelompok guru yang harus diperhatikan dalam penyusunan program In-Service Training, yakni: guru-guru penyuluh dan guru-guru biasa.
Mengingat urgensi pelayanan bimbingan di sekolah, maka perlu diselenggarakan berbagai bentuk pelaksanaan program In-Service Training. Di antara rencana-rencana yang paling efektif untuk membantu para petugas sekolah dan guru-guru adalah:
a. Kursus-kursus ekstension dan profesionil.
b. Belajar melalui observasi, konperensi-konperensi dan konsultasi.
c. Lokakarya (Workshop), rapat-rapat kerja dan seminar.


DAFTAR PUSTAKA


Tohirin. 2009. Bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syahril & Ahmad Riska. 1986 Pengertian bimbingan dan konseling : Angkasa Raya.
Djumhur & Surya. 1975. Bimbingan penyuluhan di sekolah: Bandung CV.Ilmu.