BAB I
PENDAHULUAN
Sebagian ahli agama mengatakan bahwa agama adalah peraturan
(undang-undang Tuhan yang dikaruniakan kepada manusia. Melalui lisan seorang
manusia pilihan dari kalangan mereka sendiri, tanpa diusahakan dan
diciptakannya. Bila
kita kembali kepada penggunaan ad-din dalam pengertian Al-Quranul karim, tampak
kepada kita dua pengertian.
Agama merupakan pendidikan yang memperbaiki sikap dan tingkah laku
manusia. Membina budi pekerti luhur seperti kebenaran, keikhlasan, kejujuran,
keadilan, kasih saying, cinta mencintai dan menghidupkan hati nurani menusia
untuk memperhatikan (muraqabah) Allah SWT, baik dalam keadaan sendirian maupun
bersama orang lain. Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui jangkauan
latar belakang sabda Rasulullah SAW :
Salah satu ajaran dasar lain dalam agama Islam ialah bahwa manusia
yang tersusun dari badan dan roh itu berasal dari Tuhan yang akan kembali ke
Tuhan. Tuhan adalah suci dan roh yang
datang dari Tuhan juga suci dan akan dapat kembali ke tempat asalnya di sisi
Tuhan, kalau ia tetap suci.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama Islam
1. Pengertian Agama Islam
Sebagian ahli agama mengatakan bahwa agama adalah peraturan
(undang-undang Tuhan yang dikaruniakan kepada manusia. Melalui lisan seorang
manusia pilihan dari kalangan mereka sendiri, tanpa diusahakan dan
diciptakannya. Bila
kita kembali kepada penggunaan ad-din dalam pengertian Al-Quranul karim, tampak
kepada kita dua pengertian.
Pertama, AL-Quranul karim menggunakan kata-kata ad-din sesuai
dengan pengertin lughowi yang berlaku
dalam masyarakat Arab. Diantara pengertian tersebut adalah ;
·
Balasan dan
perhitungan
Sebagaimana
firman Allah : (Al-fatihaah :4)
Penguasa
di hari pembalasan dan perhitungan (QS. Al-fatihah : 4)
·
Undang-undang,
aturan-aturan berfikir, aturan berbuat, hokum-hukum dan tata cara beribadah.
Pengertian ini tercantum dalam firman Allah Subhabahu wa ta’ala : (Asy-Syura :
21)
“Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepada
mu, kemudian Tuhanku memberikan kepada Ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang diantara rasul-rasul”
·
Tunduk dan
patuh, seperti firman Allah SWT : (Al-Bayyinah : 5)
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) Agama dengan
lurus dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan yang
demikian itulah agama yang lurus”.
Kedua, Al-Quranul karim menggunakan juga kata ad-din dalam
pengertian yang luas sekali, termasuk arti-arti di atas. Di antara arti yang
luas itu adalah aturan-aturan hidup yang lengkap dengan segala aspek kehidupan.
Yang diciptakan oleh penguasa tertinggi (Allah ) dan setiap individu mempunyai
wewenang untuk mematuhi atau menolaknya. Pengertian yang luas ini terdapat
dalam firman Allah :
(Al-Imran
: 19) (At-Taubah :33) (Al-Imran : 85).
Maka kata-kata ad-din dalam ayat-ayat di atas, digunakan dalam arti
peraturan hidup yang lengkap dalam segala aspeknya. Begitu pula menetapkan
bahwa ad-dinul haq dalam arti yang luas adalah system hidup yang diterima dan
diridhoi Allah. System yang diciptakan-Nya sendiri berdasar ketundukan dan
kepatuhan kepada-Nya. Siapa menolak tunduk kepada Allah dan mengikuti aturan /
system lain dari agama yang benar akan mengalami kerugian di akhirat nanti.[1]
Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hokum yang
harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang yang
membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran
agama. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiabn yang kalau tidak
dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan
membawa pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh
akan mendapat balasan baik dari tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan
yang tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik.
Dengan demikian unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama ialah
:
a.
Kekuatan Gaib
b.
Keyakinan
Manusia
c.
Respons
d.
Paham.[2]
2.
Fungsi Agama
dalam kehidupan pribadi
Agama mampu memenuhi kebutuhan pokok individu dan mengisi
kekosongan jiwa manusia. Kekosongan ini tidak mungkin diisi oleh sesuatu yang
lain. Karena manusia yang hidup di alam raya ini, matanya disilaukan oleh
makhluk di langit maupun di bumi yang membuatnya heran dan kagum.
Agama merupakan pendidikan yang memperbaiki sikap dan tingkah laku
manusia. Membina budi pekerti luhur seperti kebenaran, keikhlasan, kejujuran,
keadilan, kasih saying, cinta mencintai dan menghidupkan hati nurani menusia
untuk memperhatikan (muraqabah) Allah SWT, baik dalam keadaan sendirian maupun
bersama orang lain. Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui jangkauan
latar belakang sabda Rasulullah SAW :
“Seseorang akan masuk neraka akibat kematian seekor kucing yang
dikurungnya, tidak diberi makan dan kesempatan untuk mencari makan sendiri dari
binatang-binatang kecil hingga ia mati kelaparan”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Agama mendorong manusia untuk bekerja, melarang bermalas malasan
dalam melaksanakan tugas dan memiliki kata sesuai dengan perbuatan sehingga
tidak ternilai sebagai sifat orang-orang munafik, Allah berfirman : (Ash-Shaf :
2-3)
“Hai orang-orang yang beriman , mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”.
Agama bertujuan membentuk pribadi yang cakap
untuk hidup di dalam masyarakat (kehidupan duniawi) sebagai jembatan emas untuk
mencapai kebahagiaan ukhrowi.
Agama memberikan kepada kita nilai-nilai rohani yang merupakan
kebutuhan pokok kehidupan manusia, bahkan kehidupan fitriyahnya. Karena tanpa
landasan mental spiritual manusia tidak akan mampu mewujudkan keseimbangan
antara dua kekuatan yang saling bertentangan, yakni kekuatan kebaikan dan
kekuatan kejahatan, apalagi unutk memenangkan kebaikan, Allah berfirman : [3]
“ Dan
jiwa serta penyempurnaannya atau ciptaannya, maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu atau jalan kefasikan atau ketaqwaannya, Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya”. (Asy-Syamsi : 7-10)
”…….
Sesungguhnya nafsu itu selalu cenderung kepada kejahatan.” (Yusuf:
53)
Agama mengisi kekosongan hati orang yang beriman dengan rasa khusuk
dan mendekatkan diri kepada Allah. Ingin menikmati pahala dan takut kepada
siksaan-Nya. Dengan demikian manusia mendekatkan diri kepada tuhannya dengan
penuh rasa takut dan harap. Tentu ia akan menempuh jalan petunjuk dan
menjauhkan diri dari jalan yang sesat.
3.
Fungsi Agama
dalam kehidupan masyarakat
Agama merupakan keharusan masyarakat, karena manusia adalah makhluk
social. Ia lahir, hidup dan mati dalam masyarakat. Kehidupan social tentu
menimbulkan interaksi social yang akan melahirkan hak dan kewajiban.
Agama memelihara hak-hak asasi, mencegah penganiayaan dan merampas
hak orang lain. Agama adalah ciptaan Allah Yang Maha Mengetahui kemaslahatan
hamba, Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum-hukum bagi
manusia.
Berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama, akan melahirkan
kesejahteraan dan kebahagiaan individu dan masyarakat dengan kehidupan yang
terhormat. Agama Islam menanamkan prinsip keadilan yang merata di kalangan umat
manusia walau musuh sekalipun, karena keadilan sesuai dengan perikemanusiaan
dan martabat manusia itu sendiri.
Ajaran
Islam mampu melenyapkan sifat Diskriminatif ras, sukuisme, fanatisme yang
terceladan rasa golongan yang negative, yaitu penempatan kebebasan mutlak dan
nilai fragmatisme di atas segala nilai.
Agama melindungi kehidupan duniawi dari bahaya
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, karena pengetahuan dan teknologi di
samping alat kemajuan, juga merupakan alat penghancur dan pemusnah manusia.
Seorang ilmuwan akan semakin taat kepada Allah setiap ia menemukan sesuatu yang
baru karena penemuannya itu merupakan tanda-tanda atau bukti-bukti kebesarab
ilahi.[4]
Allah berfirman : (Fathir
: 28)
4.
Islam Dalam Pengertian yang Sebenarnya
Islam adalah agama
yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada msyarakat manusia melalui Nabi
Muhammad SAW sebagai rosul.
Dalam faham dan keyakinan umat Islam Al-Quran mengandung sabda Tuhan yang
diwahyukan kepada nabi Muhammad sebagai dijelaskan Al-Quran, wahyu ada 3 macam
surat 42 (al-syura ayat 51-52 ).
Wahyu dalam bentuk pertama tersebut di atas kelihatannya adalah pengertian
atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya,
timbil dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Wahyu bentuk
kedua, ialah pengalaman dan penglihatan di dalam keadaan tidur atau dalam
keadaan trance. Di dalam bahasa asingnya ini disebut ru’ya (dream) tau kasy
(vision). Wahyu bentuk ketiga, ialah yang diberikan melalui utusan atau melekat
yaitu jibril dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata. Bahwa
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah wahyu dalam bentuk ketiga
dijelaskan juga dalam Al-Quran surat –asy-syura ayat 192-195.[5]
Ajaran yang terpenting dari Islam ialah ajaran tauhid, maka sebagai halnya
dalam agama monoteisme atau agama tauhid lainnya, yang menjadi dasar dari
segala dasar di sini ialah pengakuan tentang adanya Tuhan YME. Di samping itu
menjadi dasar pula soal kerasulan, wahyu, kitab suci yaitu Al-Quran, soal orang
yang percaya kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad yaitu soal mu’min dan
muslim, soal orang yang tidak percaya kepada ajaran – ajaran itu yakni orang
kafir dan musyrik.
Salah satu
ajaran dasar lain dalam agama Islam ialah bahwa manusia yang tersusun dari
badan dan roh itu berasal dari Tuhan yang akan kembali ke Tuhan. Tuhan adalah suci dan roh yang datang dari
Tuhan juga suci dan akan dapat kembali ke tempat asalnya di sisi Tuhan, kalau
ia tetap suci.
Selanjutnya Islam berpendapat bahwa manusia di dunia ini tidak bisa
terlepas dari hidup manusia di akhirat, bahkan lebih dari itu corak hidup
manusia di dunia ini menentukan corak hidupnya di akhirat kelak. Hidup baik
menghendaki masyarakat manusia yang teratur. Oleh sebab itu Islam mengandung
peraturan-peraturan tentang kehidupan masyarakat manusia. Demikianlah terdapat
peraturan-peraturan mengenai hidup kekeluargaan(perkawinan, perceraian, waris
dll) , ekonomi dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam,
perserikatan dll. Semua ini dibahas dalam lapangan hokum Islam yang dalam
istilah Islamnya disebut Ilmu Fikih. Fikih memberikan gambaran tentang
aspek hokum dari Islam.[6]
B. Sumber Ajaran Islam
$pkr'¯»t الذ ين (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 59)
H.R. Abu Dawud dan Turmudzi: berisi kesetujuan Rasulullah
SAW dan jawaban-jawaban Mu’adz bin Jabbal RA (sahabat beliau) ketika beliau
mengutus Mu’adz ke Yaman untuk menjabat sebagai Hakim di sana:
“Rasulullah SAW, bertanya kepada Mu’adz: ‘Dengan pedoman
apa anda memutuskan suatu perkara?’, Jawab Mu’adz: ‘Dengan Kitabullah’, Tanya
Rasul: ‘Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an?’, Jawab Mu’adz: ‘Dengan Sunnah
Rasulullah’, Tanya Rasul: ‘Kalau dalam Sunnah juga tidak ada?’, Jawab Mu’adz:
‘Saya berijtihad dengan pikiran saya’. Sabda Rasul: ‘Maha Suci Allah yang telah
memberikan bimbingan kepada Rasul-Nya.”
QS. An-Nisa : 59 merupakan dalil yang menunjukkan ada
empat sumber yang harus ditaati yaitu dua di antaranya sebagai Sumber
Pokok/Utama ialah al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana keterangan
Hadits:
“Aku (Nabi SAW) tinggalkann dua perkara, agar kamu
semua tidak tersesat jika terus berpedoman hidup kapada keduanya…yaitu
Kitabullah (a-Qur’an) dan Sunnah Rasul”.
Adapun dua berikutnya merupakan sumber yang “koordinatif
dan bergantung” kepada Sumber Pokok itu, ialah Ijma’ (konsensus
Ulama/ahli ilmu) dan Ijtihad (upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan
hukum Islam). Ijma’ dan ijtihad merupakan sumber yang koordinatif dan bergantung, oleh
karena itu ijma’ dan ijtihad merupakan sumber hukum Islam alternatif (bukan utama) sebagaimana
makna dari Hadits Mu’adz bin Jabbal RA.
Demikian dalil yang bersifat umum dari al-Qur’an. Akan
tetapi dalil kedua atau Hadits Taqriri (hadits yang bersifat
pengukuhan/kesetujuan dari Nabi SAW atas pendapat Mu’adz) mempunyai konteks
yang relevan dengan proses ijtihad yang menjadi kewajiban hakim untuk “qadla”.
Jadi Hadits tersebut lebih spesifik, sehingga hanya menyebutkan 3 (tiga) sumber
saja untuk memutuskan perkara yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad.[7]
1. Al-Qur’an
a. Pengertian Al-Qur’an
1) Pengertian Etimologi (Bahasa)
Para Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan kata
Al-Qur’an dari cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah
ia merupakan kata sifat atau kata jadian.
Para Ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkannya
menggunakan hamzah telah terpecah menjadi dua pendapat:
a) Sebagian Ulama, di antaranya Al-Lihyani,
berkata bahwa kata Al-Qur’an merupakan kata jadian dari kata dasar qara’a
(membaca). Mereka merujuk pada firman Allah (Al-Qiyamah: 17-18).
b) Sebagian Ulama di antaranya Az-Zujaj,
menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan kata sifat, diambil dari kata dasar al-qar’
yang artinya menghimpun. Kata ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang menghimpun surat, ayat, kisah,
perintah, dan larangan, atau menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.
Para Ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkan kata
Al-Qur’an tidak menggunakan hamzah pun terpecah dalam dua kelompok:
a) Sebagian dari mereka, di antaranya
Al-Asy’ari, mengatakan bahwa Al-Qur’an diambil dari kata kerja qarana
(menyertakan) karena Al-Qur’an menyertakan surat, ayat dan huruf-huruf.
b) Al-Farra‘ menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an
diambil dari kata dasar qara’in (penguat) karena Al-Qur’an terdiri atas
ayat-ayat yang saling menguatkan dan terdapat kemiripan antara satu ayat dengan
ayat lainnya.
2) Pengertian Terminologi (Istilah)
a) Menurut Manna‘ Al-Qaththan:
“Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
dan orang yang membacanya akan memperoleh pahala”.
b) Menurut Al-Jurjani:
“Al-Qur’an adalah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., dituluis dalam
mushaf, dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan”.
c) Menurut kalangan pakar ushul fiqih, fiqih,
dan bahasa Arab.
“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad,
lafadz-lafadznya mengandung mu‘jizat, yang membacanya mempunyai nilai ibadah,
diturunkan secara mutawati, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat
Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas”.[8]
b. Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang berfungsi sebagai berikut:
1.) Sebagai Mu’jizat
2.) Sebagai pedoman hidup: Al-Qur’an banyak
mengemukakan pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam
hubungan antara manusia dengan Tuhan maupun hubungan antara manusia dengan
manusia dan makhluk lainnya.
3.) Sebagai korektor: Al-Qur’an banyak
mengungkapkan persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil
dan lain-lain yang dinilai Al-Qur’an tidak sesuai dengan ajaran Allah yang
sebenarnya.
c. Lima Garis Besar Isi Kandungan Al-Qur’an
Sebagian Ulama berpendapat bahwa secara
garis besar ketujuh surat Al-Fatihah merupakan perasaan atau ini dari seluruh
kandungan makna lahir batin, tersurat dan tersirat dari Al-Qur’an. Sementara
samudra hakikat Al-Fatihah sendiri tersaripatikan dalam kalimat Basmalah. Dan
semuanya itu terproyeksikan dalam lima prinsip garis berikut ini.
1.) Aqidah (keimanan), tauhid.
2.) Syari’at yang terdiri dari ibadah murni dan
mu’amalah.
3.) Akhlak.
4.) Sejarah.
5.) Berita-berita, soal masa depan dan pasca
masa depan, ramalan-ramalan yang prospektif serta rupa-rupa ilmu pengetahuan
modern.
d. Ilmu-ilmu yang Membahas Hal-hal yang
Berhubungan dengan Al-Qur’an
1.) Ilmu Mawathin Nuzul, yaitu ilmu yang
membahas tentang tempat-tempat turunnya Al-Qur’an.
2.) Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu Ilmu yang
membahas sebab turunnya Al-Qur’an.
3.) Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang membahas
tentang teknik membaca Al-Qur’an.
4.) Ilmu Gharibil, yaitu ilmu yang membahas
tentang kalimat-kalimat asing artinya dalam Al-Qur’an.
5.) Ilmu Wajuh, yaitu ilmu yang membahas
tentang kalimat yang mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh
sesuatu ayat dalam Al-Qur’an.
6.) Ilmu Amtsalil Al-Qur’an, yaitu Ilmu yang
membahas tentang perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an.
7.) Ilmu Aqsamil Al-Qur’an, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang maksud-maksud sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.[9]
2. Hadits
a. Pengertian
dan sinonim kata hadits
Hadits bentuk jamaknya adalah hidas, hudasa,
dan hudus. Dari segi bahasa, kata hadits
mempunyai beberapa
arti, yaitu:
·
Baru (jadid), lawan dari terdahulu
(qadim)
·
Dekat (qarib),tidak lama lagi terjadi,
lawan dari jauh (ba’id)
·
Warta berita (khabar), sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lainnya. Hadits yang bermakna khabar ini dihubungkan
dengan kata tahdis yang berarti riwayat, ikhbar (mengkhabarkan).
Allah
juga menggunakan kata hadist dengan arti khabar sebagaimana tesebut dalam
firmannya : Q.S At-thur:34)
Adapun
pengertian hadist menurut ahli hadist ialah: “segala ucapan segala perbuatan
dan segala keadaan atau perilaku Nabi SAW”.
Yang
dimaksud dengan keadaan adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dalam kitab
sejarah, seperti kelahirannya, tempatnya dan hal yang bersangkut paut
dengannya, baik sebelum diangkat menjadi seorang rasul maupun sesudahnya.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa hadist itu meliputi sabda nabi, perbuatan, dan taqrir
(ketetapan) darinya.
Oleh karena itu, ada istilah hadist marfu: yaitu
hadist yang sampai kepada Nabi SAW mauquf, yaitu hadist yang sampai kepada
sahabat, dan hadist maqtu, yaitu hadist yang hanya sampai kepada tabi’in saja.[10]
b. Kedudukan
dan fungsi hadist
Hadist
nabi SAW merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran
Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah
merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta
ajaran islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di
masa Rasulullah SAW, masih hidup, para sahabat mengambil hukum-hukum Islam
(syariat) dari Al-Qur’an yang mereka terima dan dijelaskan oleh Rasulullah.
Dalam
beberapa tempat, penjelasan –penjelasan yang diisyaratkan oleh ayat-ayat
Al-Qur’an hanya bersifat mujmal umum atau mutlak. Misalnya tentang perintah
shalat yang diungkapkan secara mujmal, tidak menerangkan bilangan rakaatnya,
tidak menerangkan cara-caranya maupun syarat rukunnya.
Banyak
hukum-hukum didalam Al-Qur’an yang diantaranya sulit di pahami atau di jalankan
bila tidak diperoleh keterangan (penjelasan) yang diperoleh dari hadist Nabi
SAW. Oleh sebab itu, para sahabat yang tidak memahami Al-Qur’an perlu kembali
kepada Rasulullah SAW, untuk memperoleh penjelasan yang diperlukan tentang
ayat-ayat Al-Qur’an.
Dengan
demikian, maka hadist Nabi SAW berkedudukan sebagai sumber hukum Islam kedua
setelah Al-qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah: (QS. Alhasyr:7).[11]
3. Ijma’ Ulama
a. Pengertian Ijma’
Secara bahasa Ijma’ berarti “berkumpul”. Secara istilah atau definisi
Ijma‘ ialah konsensus atau kesepakatan Ulama-ulama Islam dalam menentukan suatu
masalah hukum atas realita sosial yang dinamis sehingga masyarakat betul-betul
menunggu (butuh) jawaban dari ulama-ulama tersebut. Hasilnya ijma‘ ini umumnya
yang menjadi fatwa di mana suatu publik kalangan muslim menunggu fatwa
tersebut.
Hukum-hukum Islam yang dihasilkan oleh Ijma’ Ulama, antara lain adalah:
Contoh:
·
Nikah berbeda agama, terutama wanita muslimah dengan
pria non muslim, sepakat sebagian besar ulama “mengharamkan”.
·
Ulama di Indonesia sepakat bahwa nikah berbeda agama dilarang
(haram), dan hal ini sudah menjadi hukum negara sebagaimana tercantum
dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang Pernikahan atau Perkawinan.
b. Daya Argumentasi Ijma’
Secara rasional kekuatan Ijma’
dalam memberikan argumentasi hukum fiqih Islam (syari’ kontekstual) adalah
otoritas ketiga setelah Al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab ijma’ didasarkan pada
kata ‘ulil amri’ dalam teks QS. An-Nisa: 59. Disamping kekuatan lainnya
ijma’ sepakat mufakat dari banyak ulama yang mempunyai kapasitas kemampuan
berijtihad. Jadi pada dasarnya Ijma Ulama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari
ijtihad. Sebab dalam ijma berbicara kuantitas ro’yu di mana jaminan
keshahihannya lebih akurat sebagaimana analogi pada “kemutawatiran” hadits.
4. Ijtihad
a. Pengertian Ijtihad
Secara Bahasa Ijtihad berarti: pencurahan segenap kemampuan untuk
mendapatkan sesuatu.
Adapun secara terminology, Ijtihad ialah penggunaan akal sekuat mungkin
untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang ditetapkan secara
eksplisit dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, maka ijtihad terikat
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad
tidak dapat melahirkan keputusan mutlak absolut.
2) Sesuatu yang ditetapkan oleh ijtihad,
mungkin berlaku bagi seseorang atau sekelompok orang tapi tidak berlaku bagi
orang lain.
3) Ijtihad tidak berlaku dalam urusan
penambahan ibadah mahdhah.
4) Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
5) Dalam proses berijtihad hendaknya
dipertimbangkan factor-faktor motivasi, akibat kemaslahatan umum, kemanfaatan
bersama dan nilai-nilai yang menjadi cirri dan jiwa dari pada ajaran Islam.
c. Cara Berijtihad
Dalam melaksanakan Ijtihad, para Ulama telah membuat metode-metode
antara lain:
1) Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum
terhadap suatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan
dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh
Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena sebab yang sama. Metode qiyas dianut oleh
keempat Imam Mazhab.
Contoh qiyas: menurut QS. Al-Isra’: 23; seseorang tidak boleh berkata
“uf, ah (cis)” kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain
terhadap orang tua dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum kata “uf, ah
(cis)”.
2) Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum
terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran
Islam seperti keadilan, kasih saying dan lain-lain. Istihsan disebut juga qiyas
khofi (analogi samar-samar). Metode ini digunakan oleh Mazhab Hanafi.
Contoh Istihsan: seorang ibu hamil mempunyai masalah dengan
kandungannya, berdasarkan pemeriksaan dokter kandungan bahwa bayinya bermasalah
dan bisa mengakibatkan kematian bagi ibu yang hamil. Maka dalam hal ini diambil
keputusan, bayi yang harus dikalahkan, agar ibunya tetap hidup. Sedangkan
aborsi tanpa alasan medis seperti di atas tetap diharamkan.
3) Mashalihul Mursalah, adalah kebaikan yang
ditemukan akal dan dapat dibuktikan secara empiris dan kebaikan tersebut tidak
terungkap langsung dalam Al-Qur’an dan Hadits, baik pembenaran maupun
pembatalan dari keduanya. Yang menjadi pertimbangan umum bagi mashlatul
murasalah ialah “mendatangkan manfaat dan mencegah bahaya”. Mashalihul Mursalah
digunakan dan dipertahankan oleh Imam Mazhab Maliki dan Nidzamuddin Thufi
(tokoh dari mazhab Hambali).
Contoh Mashalihul Mursalah: memiliki buku nikah dari KUA itu sangat
berguna bagi pasangan suami istri dan juga keturunannya. Pasangan suami istri
yang menikah dibawah tangan “sah” menurut agama Islam meskipun tidak
memiliki buku nikah. Untuk menghindari fitnah, buku nikah sangat berguna.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
msyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rosul.
ada empat sumber yang harus ditaati yaitu dua
di antaranya sebagai Sumber Pokok/Utama ialah al-Qur’an dan as-Sunnah,
sebagaimana keterangan Hadits: “Aku (Nabi SAW) tinggalkann dua perkara, agar
kamu semua tidak tersesat jika terus berpedoman hidup kapada keduanya…yaitu
Kitabullah (a-Qur’an) dan Sunnah Rasul”. Adapun dua berikutnya merupakan
sumber yang “koordinatif dan bergantung” kepada Sumber Pokok itu, ialah Ijma’
(konsensus Ulama/ahli ilmu) dan Ijtihad (upaya sungguh-sungguh untuk
menetapkan hukum Islam).
DAFTAR PUSTAKA
Ø Ahmad, Muhammad , Ulumul Hadist, bandung: pustaka setia:2000.
Ø Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid 1,
Jakarta: PT UI Press, 1985.
Ø Qadir Ahmad, Muhammad Abdul, Metodologi Pengajaran Agama Islam Penerbit ;
Rineka Cipta, 2008.
Ø Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung;
CV. Pustaka Setia, 2006.
Ø Somad Zawai, dkk., Pendidikan Agama Islam,
Jakarta; Universitas Trisakti, 2005.
[1] Muhammad Abdul
Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Penerbit ; Rineka Cipta, 2008),
hlm. 1-3
[2] Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Penerbit : UI Press, 1985),
hlm. 9-11.
[4] Ibid, hlm.
11-15
[10] Drs. H.
Muhammad Ahmad, Drs.M.Mudzakir, Ulumul Hadist, bandung: pustaka setia:2000,
hal.11-12
[11] Ibid, hal:18-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar