BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah
Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang ada kaitan denganya.
Pandangan terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al Syatiby mengatakan: “ maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menguatkan keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak”.
Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”. sedangkan menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu: melindungi agama (hifdu al diin), melindungi jiwa (hifdu al nafs), melindungi akal (hifdu al aql), melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl), melindungi harta benda (hifdu al mal).
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa lafad al-Maslahah dan adalah berupa bentuk yang masih umum, yang menurut kesepakatan ulama adalah mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, al-Syatibi menyatakan “bahwa tujuan dari diturunkanya Syari’at adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat secara bersamaan.”.
B. Pembagian Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fikh membagi maslahah menjadi dua :
1. Maslahah Ammah.
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah Khassah .
Maslahah khashsah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu:
1. Maslahah Mu’tabarah
Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syariat. Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamer misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW. maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.
2. Maslahah Mulghah
Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak karena bertentangan dengan hukum syara’. Ini bukanlah maslahah yang benar, bahkan hanya disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah yang kecil yang menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syariat atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
C. Definisi Maslahah Mursalah
Secara etimologi, maslahah mempunyai makna yang identik dengan manfa’at, keuntungan, kenikmatan, kegembiraan atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal tersebut .
Kemudian dalm konteks terminology syariat, maslahah mempunyai makna suatu kondisi daya upaya untuk mendatangakan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan dari hal-hal yang bersifat nigatif (madharat) dalam kaitan ini, as-syathibi dalm karyanya al-muafaqat menandaskan bahwa, disyariatkannya ajaran islam tidak lain hanyalah untuk memelihara kemaslahatan umat didunia dan akhirat. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah sebuah peristiwa hukum masuk pada katagori maslahah atau mafsadah hal itu harus dikembalikan atau dilihat unsur mana yang menunjkkan angka yang lebih dominanan diantara keduanya.
Contoh konkritnya maslahah dalam wujud tidak adanya wujud pengakuan maupun pembatalan secara ekplisit dari wahyu, seperti pengumpulan dan pembukuan al-qur’an menjadi satu mushaf, pengadaan mata uang berikut system sirkulasinya dalam sebuah mikanisme pasar. Contoh-contoh tersebut tidak ditemukan dalam nash ajaran agama secara tersurat, namun diakui keberadaannya olen syar’i karna memiliki implikasi yang cukup jelas untuk mengakomodir kemaslahatah umat manusia.
Kejadian didunia ini terus menerus terjadi dan bermacam-macam peristiwa senantiasa tumbuh tak pernah berhenti, sedangkan nash syara’ terbatas dan terhingga, maka kalau demikian tentulah syara’ memberikan jalan keluar kepada kita guna mengetahui hukum yang menghendaki untuk kemaslahhatan bagi umat manusia. Kita ketahui syari’at yang berkembang didunua ini bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia khususnya dan alam pada umumnya.
D. Alasan Ulama’ Menjadikannya Sebagai Hujjah
Jumhur ulama berpendapat bahwa hujjah syara’lah yang dipakai dalam maslahah mursalah sebagai landasan penetapan hukum. Karna kejadian tersebut tidak ada hukumnya dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum.
Alasan mereka dalam hal ini antara lain :
1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.
2. Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum.
Seperti yang dilakukan oleh abu bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjdi suatu tulisan al-qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya.
Umar menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
Perlu kita tahuhui bahwa kemaslahatah akhirat adalah hal yang paling penting dalam pandangan Islam, yaitu tercapainya keridhoan dari Allah yang maha pemurah di akhirat nanti, karena dalam pandangan islam hidup tidak hanya berhenti pada kehidupan di Dunia saja, dengan kata lain bahwa kerhidhoan Allah di akhirat tidak bisa terlepas dengan keridhoaNYA di dunia dan bagaimana seseorang menentukan sikapnya di dunia.
E. Syarat- Syarat Maslahah Mursalah
Uama-ulama yang mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber hukum terutamanya ulama Mazhab Maliki tidaklah sewenang-wenang menganggap setiap sesuatu itu sebagai “maslahah mursalah”. Bahkan mereka telah meletakkan beberapa syarat dalam mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber hukum agar tidak terjadi penetapan hukum yang berdasarkan nafsu. Syarat- syarat tersebut adalah:
1. Bentuk mashlahah tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil yang qath’i. dengan kata lain bahwa kemashlahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, merupakan bagian keumumannya, bukan termasuk kemashlahatan yang gharib, kendati tidak terdapat dalil yang secara spesifik mengukuhkannya.
2. Kemashlahatan tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya secara rasional terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penerapan hukum. Misalnya pencatatan administrasi dalam berbagai transaksi akan menetralisir persengketaan atau persaksiaan palsu. Dalam kaitannya dengan konteks syariat hal semacam ini selayaknya diterima. Beda halnya dengan pencabutan hak talak dari suami dan menyerahkan kewenangan pada qadli (hakim), keputusan kontropersial semacam ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan garis ketentuan syariat.
3. Mashlahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersukup universal, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena hukum-hukum syariat diberlakukan untuk semua manusia. Karenanya penetapan hukum tidak selayaknya mengacu secara khusus pada kepentingan-kepentingab pejabat, penguasa atau bermotif nepotisme misalnya.
F. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Para ulama ushul fiqh bebeda argumen dalam hal kehujjahan maslahah al mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum syara’. Dalam hal ini kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengakui Maslahah mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum islam, sedangkan Imam Syafi’I dan kalangan Hanafiyah menolaknya dengan alasan sebagai berikut:
Syariatlah yang akan mengatur kamaslahatan manusia dengan nash- nash dan petunjuk qiyas. Sebab syar’i tidak akan berlaku semena- mena terhadap manusia dengan tanpa merumuskan ketentuan- ketentuan hukum yang menjamin segala kemaslahatan manusia. Menetapkan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti menganggap syari’at islam belum lengkap dan masih ada masalah yang belum terselesaikan. Hal ini bertentangan dengan fiman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Artinya:”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?” (QS.al- Qiyamah: 36).
Pembentukan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti membuka pintu nafsu para pemimpin, ulama’, atau para hakim untuk menetapkan hukum islam menurut selaranya atau kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan.
Setelah kita mengetahui argumentasi dari para Ulama yang menolak maslahah mursalah hendaknya kita juga harus tahu alasan-alasan para Ulama yang tetap mempertahankan metode ini, sebenarnya perbedaan mereka hanyalah apabila konsep maslahah mursalah dipakai di dalam muamalat (hubungan antar manusia), adapun apabila diterapkan dalam masalah yang bersifat ibadah maka semua ulama sepakat tentang tidak berlakunya metode ini, karena ibadah yang kita terima dari Syari’ bersifat doktrin (tauqifi) yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh akal. Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa Ulama mengunakan maslahah mursalah adalah:
bahwa kehidupan manusia akan selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup ini, seperti keterangan dalam firman Allah:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya:“………dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(QS.al haj:78)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa maslahah mursalah mengandung makna yang luas, sebagai suatu pemecahan atas problem-problem yang dihadapi umat disesuaikan dengan zamannya, dengan memposisikan kemaslahatan diposisi yang lebih tinggi dan harus didahulukan dari pada kemaslahatan yang lebih rendah.
Setelah kita mengetahui argumentasi dari para Ulama yang menolak maslahah mursalah hendaknya kita juga harus tahu alasan-alasan para Ulama yang tetap mempertahankan metode ini, sebenarnya perbedaan mereka hanyalah apabila konsep maslahah mursalah dipakai di dalam muamalat (hubungan antar manusia), adapun apabila diterapkan dalam masalah yang bersifat ibadah maka semua ulama sepakat tentang tidak berlakunya metode ini, karena ibadah yang kita terima dari Syari’ bersifat doktrin (tauqifi) yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh akal.
DAFTAR PUSTAKA
Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al tsaqofiyah.
Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami.
Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.
# Situs Internet dengan alamat :
- http://elmisbah.wordpress.com/al-maslahah
- http://www.scribd.com/doc/31127625/PEMBAGIAN-HUKUM-SYARI-AH
- http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/tinjauan-tentang-maslahah-mursalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar