My World

My World

Selasa, 18 Desember 2012

METODOLOGI STUDI ISLAM





BAB I
PENDAHULUAN

Sebagian ahli agama mengatakan bahwa agama adalah peraturan (undang-undang Tuhan yang dikaruniakan kepada manusia. Melalui lisan seorang manusia pilihan dari kalangan mereka sendiri, tanpa diusahakan dan diciptakannya.  Bila kita kembali kepada penggunaan ad-din dalam pengertian Al-Quranul karim, tampak kepada kita dua pengertian.
Agama merupakan pendidikan yang memperbaiki sikap dan tingkah laku manusia. Membina budi pekerti luhur seperti kebenaran, keikhlasan, kejujuran, keadilan, kasih saying, cinta mencintai dan menghidupkan hati nurani menusia untuk memperhatikan (muraqabah) Allah SWT, baik dalam keadaan sendirian maupun bersama orang lain.  Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui jangkauan latar belakang sabda Rasulullah SAW :
Salah satu ajaran dasar lain dalam agama Islam ialah bahwa manusia yang tersusun dari badan dan roh itu berasal dari Tuhan yang akan kembali ke Tuhan.  Tuhan adalah suci dan roh yang datang dari Tuhan juga suci dan akan dapat kembali ke tempat asalnya di sisi Tuhan, kalau ia tetap suci.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Agama Islam
1.    Pengertian Agama Islam
Sebagian ahli agama mengatakan bahwa agama adalah peraturan (undang-undang Tuhan yang dikaruniakan kepada manusia. Melalui lisan seorang manusia pilihan dari kalangan mereka sendiri, tanpa diusahakan dan diciptakannya.  Bila kita kembali kepada penggunaan ad-din dalam pengertian Al-Quranul karim, tampak kepada kita dua pengertian.
Pertama, AL-Quranul karim menggunakan kata-kata ad-din sesuai dengan pengertin lughowi  yang berlaku dalam masyarakat Arab. Diantara pengertian tersebut adalah ;
·         Balasan dan perhitungan
Sebagaimana firman Allah : (Al-fatihaah :4)




Penguasa di hari pembalasan dan perhitungan (QS. Al-fatihah : 4)
·         Undang-undang, aturan-aturan berfikir, aturan berbuat, hokum-hukum dan tata cara beribadah. Pengertian ini tercantum dalam firman Allah Subhabahu wa ta’ala : (Asy-Syura : 21)




“Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepada mu, kemudian Tuhanku memberikan kepada Ilmu serta Dia menjadikanku salah  seorang diantara rasul-rasul”


·         Tunduk dan patuh, seperti firman Allah SWT : (Al-Bayyinah : 5)



“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) Agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus”.

Kedua, Al-Quranul karim menggunakan juga kata ad-din dalam pengertian yang luas sekali, termasuk arti-arti di atas. Di antara arti yang luas itu adalah aturan-aturan hidup yang lengkap dengan segala aspek kehidupan. Yang diciptakan oleh penguasa tertinggi (Allah ) dan setiap individu mempunyai wewenang untuk mematuhi atau menolaknya. Pengertian yang luas ini terdapat dalam firman Allah :
(Al-Imran : 19) (At-Taubah :33) (Al-Imran : 85).
Maka kata-kata ad-din dalam ayat-ayat di atas, digunakan dalam arti peraturan hidup yang lengkap dalam segala aspeknya. Begitu pula menetapkan bahwa ad-dinul haq dalam arti yang luas adalah system hidup yang diterima dan diridhoi Allah. System yang diciptakan-Nya sendiri berdasar ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya. Siapa menolak tunduk kepada Allah dan mengikuti aturan / system lain dari agama yang benar akan mengalami kerugian di akhirat nanti.[1]
Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hokum yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang yang membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiabn yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan mendapat balasan baik dari tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik.
Dengan demikian unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama ialah :
a.       Kekuatan Gaib
b.      Keyakinan Manusia
c.       Respons
d.      Paham.[2]

2.    Fungsi Agama dalam kehidupan pribadi
Agama mampu memenuhi kebutuhan pokok individu dan mengisi kekosongan jiwa manusia. Kekosongan ini tidak mungkin diisi oleh sesuatu yang lain. Karena manusia yang hidup di alam raya ini, matanya disilaukan oleh makhluk di langit maupun di bumi yang membuatnya heran dan kagum.
Agama merupakan pendidikan yang memperbaiki sikap dan tingkah laku manusia. Membina budi pekerti luhur seperti kebenaran, keikhlasan, kejujuran, keadilan, kasih saying, cinta mencintai dan menghidupkan hati nurani menusia untuk memperhatikan (muraqabah) Allah SWT, baik dalam keadaan sendirian maupun bersama orang lain.  Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui jangkauan latar belakang sabda Rasulullah SAW :
“Seseorang akan masuk neraka akibat kematian seekor kucing yang dikurungnya, tidak diberi makan dan kesempatan untuk mencari makan sendiri dari binatang-binatang kecil hingga ia mati kelaparan”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Agama mendorong manusia untuk bekerja, melarang bermalas malasan dalam melaksanakan tugas dan memiliki kata sesuai dengan perbuatan sehingga tidak ternilai sebagai sifat orang-orang munafik, Allah berfirman : (Ash-Shaf : 2-3)





“Hai orang-orang yang beriman , mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”.

Agama bertujuan membentuk pribadi yang cakap untuk hidup di dalam masyarakat (kehidupan duniawi) sebagai jembatan emas untuk mencapai kebahagiaan ukhrowi.
Agama memberikan kepada kita nilai-nilai rohani yang merupakan kebutuhan pokok kehidupan manusia, bahkan kehidupan fitriyahnya. Karena tanpa landasan mental spiritual manusia tidak akan mampu mewujudkan keseimbangan antara dua kekuatan yang saling bertentangan, yakni kekuatan kebaikan dan kekuatan kejahatan, apalagi unutk memenangkan kebaikan, Allah berfirman : [3]




“ Dan  jiwa serta penyempurnaannya atau ciptaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu atau jalan kefasikan atau ketaqwaannya, Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.  (Asy-Syamsi : 7-10)



……. Sesungguhnya nafsu itu selalu cenderung kepada kejahatan.” (Yusuf: 53)
Agama mengisi kekosongan hati orang yang beriman dengan rasa khusuk dan mendekatkan diri kepada Allah. Ingin menikmati pahala dan takut kepada siksaan-Nya. Dengan demikian manusia mendekatkan diri kepada tuhannya dengan penuh rasa takut dan harap. Tentu ia akan menempuh jalan petunjuk dan menjauhkan diri dari jalan yang sesat.
3.      Fungsi Agama dalam kehidupan masyarakat
Agama merupakan keharusan masyarakat, karena manusia adalah makhluk social. Ia lahir, hidup dan mati dalam masyarakat. Kehidupan social tentu menimbulkan interaksi social yang akan melahirkan hak dan kewajiban.
Agama memelihara hak-hak asasi, mencegah penganiayaan dan merampas hak orang lain. Agama adalah ciptaan Allah Yang Maha Mengetahui kemaslahatan hamba, Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum-hukum bagi manusia.
Berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama, akan melahirkan kesejahteraan dan kebahagiaan individu dan masyarakat dengan kehidupan yang terhormat. Agama Islam menanamkan prinsip keadilan yang merata di kalangan umat manusia walau musuh sekalipun, karena keadilan sesuai dengan perikemanusiaan dan martabat manusia itu sendiri.
Ajaran Islam mampu melenyapkan sifat Diskriminatif ras, sukuisme, fanatisme yang terceladan rasa golongan yang negative, yaitu penempatan kebebasan mutlak dan nilai fragmatisme di atas segala nilai.
Agama melindungi kehidupan duniawi dari bahaya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, karena pengetahuan dan teknologi di samping alat kemajuan, juga merupakan alat penghancur dan pemusnah manusia. Seorang ilmuwan akan semakin taat kepada Allah setiap ia menemukan sesuatu yang baru karena penemuannya itu merupakan tanda-tanda atau bukti-bukti kebesarab ilahi.[4]
Allah berfirman :  (Fathir : 28)





4.    Islam Dalam Pengertian yang Sebenarnya
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada msyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rosul.
Dalam faham dan keyakinan umat Islam Al-Quran mengandung sabda Tuhan yang diwahyukan kepada nabi Muhammad sebagai dijelaskan Al-Quran, wahyu ada 3 macam surat 42 (al-syura ayat 51-52 ).
Wahyu dalam bentuk pertama tersebut di atas kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbil dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Wahyu bentuk kedua, ialah pengalaman dan penglihatan di dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance. Di dalam bahasa asingnya ini disebut ru’ya (dream) tau kasy (vision). Wahyu bentuk ketiga, ialah yang diberikan melalui utusan atau melekat yaitu jibril dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata. Bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah wahyu dalam bentuk ketiga dijelaskan juga dalam Al-Quran surat –asy-syura ayat 192-195.[5]
Ajaran yang terpenting dari Islam ialah ajaran tauhid, maka sebagai halnya dalam agama monoteisme atau agama tauhid lainnya, yang menjadi dasar dari segala dasar di sini ialah pengakuan tentang adanya Tuhan YME. Di samping itu menjadi dasar pula soal kerasulan, wahyu, kitab suci yaitu Al-Quran, soal orang yang percaya kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad yaitu soal mu’min dan muslim, soal orang yang tidak percaya kepada ajaran – ajaran itu yakni orang kafir dan musyrik.
Salah satu ajaran dasar lain dalam agama Islam ialah bahwa manusia yang tersusun dari badan dan roh itu berasal dari Tuhan yang akan kembali ke Tuhan.  Tuhan adalah suci dan roh yang datang dari Tuhan juga suci dan akan dapat kembali ke tempat asalnya di sisi Tuhan, kalau ia tetap suci.
Selanjutnya Islam berpendapat bahwa manusia di dunia ini tidak bisa terlepas dari hidup manusia di akhirat, bahkan lebih dari itu corak hidup manusia di dunia ini menentukan corak hidupnya di akhirat kelak. Hidup baik menghendaki masyarakat manusia yang teratur. Oleh sebab itu Islam mengandung peraturan-peraturan tentang kehidupan masyarakat manusia. Demikianlah terdapat peraturan-peraturan mengenai hidup kekeluargaan(perkawinan, perceraian, waris dll) , ekonomi dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dll. Semua ini dibahas dalam lapangan hokum Islam yang dalam istilah Islamnya disebut Ilmu Fikih. Fikih memberikan gambaran tentang aspek  hokum dari Islam.[6]

B.     Sumber Ajaran Islam
$pkšr'¯»tƒ الذ  ين (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
H.R. Abu Dawud dan Turmudzi: berisi kesetujuan Rasulullah SAW dan jawaban-jawaban Mu’adz bin Jabbal RA (sahabat beliau) ketika beliau mengutus Mu’adz ke Yaman untuk menjabat sebagai Hakim di sana:
“Rasulullah SAW, bertanya kepada Mu’adz: ‘Dengan pedoman apa anda memutuskan suatu perkara?’, Jawab Mu’adz: ‘Dengan Kitabullah’, Tanya Rasul: ‘Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an?’, Jawab Mu’adz: ‘Dengan Sunnah Rasulullah’, Tanya Rasul: ‘Kalau dalam Sunnah juga tidak ada?’, Jawab Mu’adz: ‘Saya berijtihad dengan pikiran saya’. Sabda Rasul: ‘Maha Suci Allah yang telah memberikan bimbingan kepada Rasul-Nya.”
QS. An-Nisa : 59 merupakan dalil yang menunjukkan ada empat sumber yang harus ditaati yaitu dua di antaranya sebagai Sumber Pokok/Utama ialah al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana keterangan Hadits:
“Aku (Nabi SAW) tinggalkann dua perkara, agar kamu semua tidak tersesat jika terus berpedoman hidup kapada keduanya…yaitu Kitabullah (a-Qur’an) dan Sunnah Rasul”.
Adapun dua berikutnya merupakan sumber yang “koordinatif dan bergantung” kepada Sumber Pokok itu, ialah Ijma’ (konsensus Ulama/ahli ilmu) dan Ijtihad (upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum Islam). Ijma’ dan ijtihad merupakan sumber yang koordinatif dan bergantung, oleh karena itu ijma’ dan ijtihad merupakan sumber hukum  Islam alternatif (bukan utama) sebagaimana makna dari Hadits Mu’adz bin Jabbal RA.
Demikian dalil yang bersifat umum dari al-Qur’an. Akan tetapi dalil kedua atau Hadits Taqriri (hadits yang bersifat pengukuhan/kesetujuan dari Nabi SAW atas pendapat Mu’adz) mempunyai konteks yang relevan dengan proses ijtihad yang menjadi kewajiban hakim untuk “qadla”. Jadi Hadits tersebut lebih spesifik, sehingga hanya menyebutkan 3 (tiga) sumber saja untuk memutuskan perkara yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad.[7]
1.      Al-Qur’an
a.      Pengertian Al-Qur’an
1)      Pengertian Etimologi (Bahasa)
Para Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia merupakan kata sifat atau kata jadian.
Para Ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah telah terpecah menjadi dua pendapat:
a)      Sebagian Ulama, di antaranya Al-Lihyani, berkata bahwa kata Al-Qur’an merupakan kata jadian dari kata dasar qara’a (membaca). Mereka merujuk pada firman Allah (Al-Qiyamah: 17-18).
b)      Sebagian Ulama di antaranya Az-Zujaj, menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan kata sifat, diambil dari kata dasar al-qar’ yang artinya menghimpun. Kata ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan, atau menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.
Para Ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkan kata Al-Qur’an tidak menggunakan hamzah pun terpecah dalam dua kelompok:
a)      Sebagian dari mereka, di antaranya Al-Asy’ari, mengatakan bahwa Al-Qur’an diambil dari kata kerja qarana (menyertakan) karena Al-Qur’an menyertakan surat, ayat dan huruf-huruf.
b)      Al-Farra‘ menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata dasar qara’in (penguat) karena Al-Qur’an terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan dan terdapat kemiripan antara satu ayat dengan ayat lainnya.




2)      Pengertian Terminologi (Istilah)
a)      Menurut Manna‘ Al-Qaththan:
“Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan orang yang membacanya akan memperoleh pahala”.
b)      Menurut Al-Jurjani:
“Al-Qur’an adalah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., dituluis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan”.
c)      Menurut kalangan pakar ushul fiqih, fiqih, dan bahasa Arab.
“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad, lafadz-lafadznya mengandung mu‘jizat, yang membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawati, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas”.[8]
b.      Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang berfungsi sebagai berikut:
1.)    Sebagai Mu’jizat
2.)    Sebagai pedoman hidup: Al-Qur’an banyak mengemukakan pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan maupun hubungan antara manusia dengan manusia dan makhluk lainnya.
3.)    Sebagai korektor: Al-Qur’an banyak mengungkapkan persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan lain-lain yang dinilai Al-Qur’an tidak sesuai dengan ajaran Allah yang sebenarnya.
c.       Lima Garis Besar Isi Kandungan Al-Qur’an
      Sebagian Ulama berpendapat bahwa secara garis besar ketujuh surat Al-Fatihah merupakan perasaan atau ini dari seluruh kandungan makna lahir batin, tersurat dan tersirat dari Al-Qur’an. Sementara samudra hakikat Al-Fatihah sendiri tersaripatikan dalam kalimat Basmalah. Dan semuanya itu terproyeksikan dalam lima prinsip garis berikut ini.
1.)    Aqidah (keimanan), tauhid.
2.)    Syari’at yang terdiri dari ibadah murni dan mu’amalah.
3.)    Akhlak.
4.)    Sejarah.
5.)    Berita-berita, soal masa depan dan pasca masa depan, ramalan-ramalan yang prospektif serta rupa-rupa ilmu pengetahuan modern.
d.      Ilmu-ilmu yang Membahas Hal-hal yang Berhubungan dengan Al-Qur’an
1.)    Ilmu Mawathin Nuzul, yaitu ilmu yang membahas tentang tempat-tempat turunnya Al-Qur’an.
2.)    Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu Ilmu yang membahas sebab turunnya Al-Qur’an.
3.)    Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang membahas tentang teknik membaca Al-Qur’an.
4.)    Ilmu Gharibil, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat asing artinya dalam Al-Qur’an.
5.)    Ilmu Wajuh, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat yang mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh sesuatu ayat dalam Al-Qur’an.
6.)    Ilmu Amtsalil Al-Qur’an, yaitu Ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an.
7.)    Ilmu Aqsamil Al-Qur’an, yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksud-maksud sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.[9]




2.      Hadits
a.      Pengertian dan sinonim kata hadits
Hadits bentuk jamaknya adalah hidas, hudasa, dan hudus. Dari segi bahasa, kata hadits mempunyai beberapa arti, yaitu:
·         Baru (jadid), lawan dari terdahulu (qadim)
·         Dekat (qarib),tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh (ba’id)
·         Warta berita (khabar), sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lainnya. Hadits yang bermakna khabar ini dihubungkan dengan kata tahdis yang berarti riwayat, ikhbar (mengkhabarkan).
Allah juga menggunakan kata hadist dengan arti khabar sebagaimana tesebut dalam firmannya : Q.S At-thur:34)
Adapun pengertian hadist menurut ahli hadist ialah: “segala ucapan segala perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi SAW”.
Yang dimaksud dengan keadaan adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti kelahirannya, tempatnya dan hal yang bersangkut paut dengannya, baik sebelum diangkat menjadi seorang rasul maupun sesudahnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadist itu meliputi sabda nabi, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) darinya.
Oleh karena itu, ada istilah hadist marfu: yaitu hadist yang sampai kepada Nabi SAW mauquf, yaitu hadist yang sampai kepada sahabat, dan hadist maqtu, yaitu hadist yang hanya sampai kepada tabi’in saja.[10]
b.      Kedudukan dan fungsi hadist
Hadist nabi SAW merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di masa Rasulullah SAW, masih hidup, para sahabat mengambil hukum-hukum Islam (syariat) dari Al-Qur’an yang mereka terima dan dijelaskan oleh Rasulullah.
Dalam beberapa tempat, penjelasan –penjelasan yang diisyaratkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an hanya bersifat mujmal umum atau mutlak. Misalnya tentang perintah shalat yang diungkapkan secara mujmal, tidak menerangkan bilangan rakaatnya, tidak menerangkan cara-caranya maupun syarat rukunnya.
Banyak hukum-hukum didalam Al-Qur’an yang diantaranya sulit di pahami atau di jalankan bila tidak diperoleh keterangan (penjelasan) yang diperoleh dari hadist Nabi SAW. Oleh sebab itu, para sahabat yang tidak memahami Al-Qur’an perlu kembali kepada Rasulullah SAW, untuk memperoleh penjelasan yang diperlukan tentang ayat-ayat Al-Qur’an.
Dengan demikian, maka hadist Nabi SAW berkedudukan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah: (QS. Alhasyr:7).[11]

3.      Ijma’ Ulama
a.      Pengertian Ijma’
Secara bahasa Ijma’ berarti “berkumpul”. Secara istilah atau definisi Ijma‘ ialah konsensus atau kesepakatan Ulama-ulama Islam dalam menentukan suatu masalah hukum atas realita sosial yang dinamis sehingga masyarakat betul-betul menunggu (butuh) jawaban dari ulama-ulama tersebut. Hasilnya ijma‘ ini umumnya yang menjadi fatwa di mana suatu publik kalangan muslim menunggu fatwa tersebut.
Hukum-hukum Islam yang dihasilkan oleh Ijma’ Ulama, antara lain adalah:
Contoh:
·         Nikah berbeda agama, terutama wanita muslimah dengan pria non muslim, sepakat sebagian besar ulama “mengharamkan”.
·         Ulama di Indonesia sepakat bahwa nikah berbeda agama dilarang (haram), dan hal ini sudah menjadi hukum negara sebagaimana tercantum dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang Pernikahan atau Perkawinan.
b.      Daya Argumentasi Ijma’
      Secara rasional kekuatan Ijma’ dalam memberikan argumentasi hukum fiqih Islam (syari’ kontekstual) adalah otoritas ketiga setelah Al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab ijma’ didasarkan pada kata ‘ulil amri’ dalam teks QS. An-Nisa: 59. Disamping kekuatan lainnya ijma’ sepakat mufakat dari banyak ulama yang mempunyai kapasitas kemampuan berijtihad. Jadi pada dasarnya Ijma Ulama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari ijtihad. Sebab dalam ijma berbicara kuantitas ro’yu di mana jaminan keshahihannya lebih akurat sebagaimana analogi pada “kemutawatiran” hadits.

4.      Ijtihad
a.      Pengertian Ijtihad
Secara Bahasa Ijtihad berarti: pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu.
Adapun secara terminology, Ijtihad ialah penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.      Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, maka ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)      Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan mutlak absolut.
2)      Sesuatu yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang atau sekelompok orang tapi tidak berlaku bagi orang lain.
3)      Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah.
4)      Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
5)      Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan factor-faktor motivasi, akibat kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi cirri dan jiwa dari pada ajaran Islam.
c.       Cara Berijtihad
Dalam melaksanakan Ijtihad, para Ulama telah membuat metode-metode antara lain:
1)      Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap suatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena sebab yang sama. Metode qiyas dianut oleh keempat Imam Mazhab.
Contoh qiyas: menurut QS. Al-Isra’: 23; seseorang tidak boleh berkata “uf, ah (cis)” kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum kata “uf, ah (cis)”.
2)      Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih saying dan lain-lain. Istihsan disebut juga qiyas khofi (analogi samar-samar). Metode ini digunakan oleh Mazhab Hanafi.
Contoh Istihsan: seorang ibu hamil mempunyai masalah dengan kandungannya, berdasarkan pemeriksaan dokter kandungan bahwa bayinya bermasalah dan bisa mengakibatkan kematian bagi ibu yang hamil. Maka dalam hal ini diambil keputusan, bayi yang harus dikalahkan, agar ibunya tetap hidup. Sedangkan aborsi tanpa alasan medis seperti di atas tetap diharamkan.
3)      Mashalihul Mursalah, adalah kebaikan yang ditemukan akal dan dapat dibuktikan secara empiris dan kebaikan tersebut tidak terungkap langsung dalam Al-Qur’an dan Hadits, baik pembenaran maupun pembatalan dari keduanya. Yang menjadi pertimbangan umum bagi mashlatul murasalah ialah “mendatangkan manfaat dan mencegah bahaya”. Mashalihul Mursalah digunakan dan dipertahankan oleh Imam Mazhab Maliki dan Nidzamuddin Thufi (tokoh dari mazhab Hambali).
Contoh Mashalihul Mursalah: memiliki buku nikah dari KUA itu sangat berguna bagi pasangan suami istri dan juga keturunannya. Pasangan suami istri yang menikah dibawah tangan “sah” menurut agama Islam meskipun tidak memiliki buku nikah. Untuk menghindari fitnah, buku nikah sangat berguna.[12]




















BAB III
KESIMPULAN

Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada msyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rosul.
ada empat sumber yang harus ditaati yaitu dua di antaranya sebagai Sumber Pokok/Utama ialah al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana keterangan Hadits: “Aku (Nabi SAW) tinggalkann dua perkara, agar kamu semua tidak tersesat jika terus berpedoman hidup kapada keduanya…yaitu Kitabullah (a-Qur’an) dan Sunnah Rasul”. Adapun dua berikutnya merupakan sumber yang “koordinatif dan bergantung” kepada Sumber Pokok itu, ialah Ijma’ (konsensus Ulama/ahli ilmu) dan Ijtihad (upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum Islam).


















DAFTAR PUSTAKA
                                                       

Ø  Ahmad, Muhammad , Ulumul Hadist, bandung: pustaka setia:2000.
Ø  Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid 1, Jakarta: PT UI Press, 1985.
Ø  Qadir Ahmad, Muhammad Abdul,  Metodologi Pengajaran Agama Islam Penerbit ; Rineka Cipta, 2008.
Ø   Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung; CV. Pustaka Setia, 2006.
Ø  Somad Zawai, dkk., Pendidikan Agama Islam, Jakarta; Universitas Trisakti, 2005.




[1] Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Penerbit ; Rineka Cipta, 2008), hlm. 1-3
[2] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Penerbit : UI Press, 1985), hlm. 9-11.
[3] Muhammad Abdul Qadir Ahmad, op. cit., hlm: 6-9
[4] Ibid, hlm. 11-15
[5] Harun Nasution, op. Cit., hlm 24-25
[6] Ibid, hlm. 30-31.
[7] Somad Zawai, dkk., Pendidikan Agama Islam, Jakarta; Universitas Trisakti, 2005, hal. 43-45.
[8] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung; CV. Pustaka Setia, 2006, hal. 29-33.
[9] Somad Zawai, dkk., Pendidikan Agama Islam, op. Cit., hal. 45-50.      
[10] Drs. H. Muhammad Ahmad, Drs.M.Mudzakir, Ulumul Hadist, bandung: pustaka setia:2000, hal.11-12
[11]  Ibid, hal:18-19
[12] Somad Zawai, dkk., Pendidikan Agama Islam, op. Cit., 57-65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar